Monday, January 24, 2011

Cukupkan Diri, Jangan Berlebihan

Para ahli ekonomi dan keuangan sepakat, akar meledaknya busa sabun moneter di Amerika Serikat adalah ketamakan akan uang. Kredit perumahan yang awalnya baik karena didasarkan pada kreditor prima menjadi awal terbentuknya gelembung hampa spekulasi.

Uang memperanakkan uang, menjauh dari yang riil, menggelembung menebarkan janji memikat. Ketika pecah, kehampaan siap menyeret dunia ke jurang kekosongan. Di balik itu, ketamakan akan uang adalah penyebab utama.

Bagaimana menyikapi ketamakan? Sokrates, pemikir Yunani abad ke-5 SM, bapak segala filsafat, mengatakan, kenalilah dirimu sendiri dan jangan berlebih-lebihan. Puncak kebijaksanaan adalah ketika manusia tahu jati dirinya adalah jiwanya (bukan hartanya). Bila jiwa diakui sebagai yang terpenting dari manusia, dan diberikan prioritas, maka terhadap segala sesuatu, diri sejati itu akan mengatakan, jangan berlebihan, cukupkan dirimu.

Utama sama dengan sukses

Maksim ini terlalu moralistik? Pada titik tertentu iya, meski ”moral” di sini harus dimaknai bukan dalam arti baik dan jahat. Bagi Sokrates, keutamaan (arete) tidak pertama-tama judgement moralistik. Keutamaan adalah excellency, kinerja optimal sesuatu, atau katakanlah kesuksesan.

Penting ditekankan, keutamaan dalam filsafat Yunani belum ditunggangi pemahaman modern tentang moral dan agama. Keutamaan adalah optimalnya inti kemanusiaan, tidak lebih dan tidak kurang. Penjelasan ini urgen karena masyarakat modern justru lebih concern secara instingtif pada kesuksesan hidup daripada kepada moral atau agama! Inilah ironi kita: di mulut berteriak ”moral dan agama mesti ditegakkan”, tetapi setiap hari yang diupayakan hanya kesuksesan hidup. Maka, tanpa meminggirkan pentingnya moral dan agama, mari kita tilik makna kesuksesan hidup tawaran pemikir Yunani 25 abad yang lampau.

Bagi Sokrates, keutamaan pisau adalah mengiris. Pisau bersifat optimal kalau mampu mengiris. Tumpul, pisau tidak excellent, tidak sukses. Bagaimana dengan manusia? Keutamaan manusia ada pada jiwanya. Manusia optimal, sukses adalah manusia yang hidup dengan memprioritaskan jiwanya. Inilah bagian pertama maksim, ”kenalilah dirimu sendiri”. Kita hanya menjadi manusia sukses sejauh mengakui bahwa jiwa adalah orientasi hidup kita, bukan harta benda.

Seperti makan, minuman, dan seks, uang adalah sesuatu yang kita nafsui secara tak terbatas. Nafsu (epithumia) makan memasukkan kita dalam lingkaran lapar-makan-kenyang-lapar lagi dan seterusnya. Demikian juga seks dan uang. Nafsu digambarkan murid Sokrates (Platon) sebagai gentong bocor: seberapa pun air dimasukkan, selalu minta diisi.

Sokratisme tidak membuang makan, minum, seks, dan uang. Itu semua berguna bagi hidup manusia. Namun, justru karena bersifat utilitarian, ia tidak pernah menjadi tujuan dalam diri sendiri. Hidup manusia terarah pada sesuatu yang lain: jiwanya.

Dan persis pada jiwanya inilah nafsu terdapat! Selain nafsu-nafsu itu, Platon membuat kita sadar, jiwa juga memiliki rasa bangga diri, hormat diri (thumos). Harga diri ambisinya juga tak terbatas, ia bisa membuat manusia lupa segalanya. Harga diri bisa membuat orang nekat.

Survival yang menjadi tugas penting nafsu bisa diluluhlantakkan oleh harga diri. Harga diri, yang berguna bagi pemaknaan hidup, bisa membuat manusia menghancurkan diri, sesuatu yang tidak pernah dianjurkan Sokrates dan Platon.

Rasio manusia

Tahu bahwa diri sejati adalah jiwanya, tahu bahwa jiwanya memiliki nafsu dan harga diri, maka pentinglah unsur-unsur itu diberi tahu agar ”jangan berlebih-lebihan”. Makan boleh, mencari uang boleh, tetapi jangan berlebih-lebihan. Merasa bangga, berani menentang arus juga boleh, tetapi ”secukupnya” saja.

Apa arti secukupnya? Minimalis? Siapa yang bisa mengatakan ”sudah cukup” atau belum? Jawabannya ada di jiwa. Selain nafsu dan harga diri, jiwa kita memiliki rasio. Akal budi akan mengatakan kepada nafsu dan harga diri yang tak terbatas untuk ”cukup, tahu batas”.

Bagaimana rasio bisa melakukannya? Tidak ada resep yang mudah. Manusia yang tidak melatih mengendalikan nafsu dan harga diri terbiasa menidurkan rasio sehingga ia tak mampu mengatakan ”cukup”. Rasio hanya bisa mengatakan ”cukup” manakala ia terbiasa bernegosiasi dengan mereka. Inilah filsuf, pencinta kebijaksanaan. Lalu, bagaimana? Tiap orang harus memilih, lingkaran yang memerosokkan atau lingkaran yang membawa ke kebaikan. Pilihan terakhir membuat orang hidup berkeutamaan atau sukses. Manusia sukses adalah dia yang memilih memprioritaskan rasionya untuk mengendalikan ketamakan tanpa batas yang konstitutif di dalam jiwanya.

Belajar bijaksana

Berhadapan dengan ketamakan kapitalisme modern, kita berhadapan dengan tembok paradoksal. Kapitalisme terbiasa hidup tanpa pengendalian diri sehingga dari dirinya sendiri tidak bisa mengatakan ”cukup”. Harus ada pihak luar yang mengatakannya. Syukurlah, otoritas negara berani mengatakan ”cukup”. Semoga kapitalisme mau belajar. Sebuah harapan paradoksal karena memasukkan ”kendali negara” dalam sistem kapitalisme dianggap bunuh diri ”isme” itu sendiri.

Atau, sudah saatnya belajar bijaksana? Waspada dengan kredo kita tentang kapitalisme? Mengapa pebisnis dan penanggung jawab ekonomi negeri ini seakan lalai sila ”keadilan sosial”, horizon ultima sistem ekonomi bangsa?

Semoga kita tidak mudah percaya begitu saja hanya karena suatu ajaran tampak canggih dan dari negeri hebat, semoga kita lebih mengenali ”diri kita sendiri” sehingga hidup bersama di republik ini memiliki makna dan penuh sukses.

Menjadi manusia utama, yang sukses hidupnya, adalah harapan kita semua. Syukur-syukur ditambahi agamais dan moralis. Namun, en deça (lebih di bawah lagi) dari sikap itu, keutamaan dalam arti rasional dari Sokrates adalah apa yang kita butuhkan saat ini.

A Setyo Wibowo Pengajar di STF Driyarkara Jakarta; Alumnus Universitas Paris-I, Sorbonne, Perancis

Monday, January 17, 2011

In Memoriam Mas Tanto (EM. Edy Suharmanto); "Yang Kritis" dalam Pribadi "Yang Berkritis"


Jumat 14 Januari 2011, jam 18:35 seorang sahabat mengirimkan berita; “Tanto sudah menyempurnakan hidupnya tadi jam 17:30”. Mas Tanto (1964-2011), begitu saya menyebut, akhirnya menyelesaikannya juga. Tiga hari terakhir, begitu saya mengetahui Mas Tanto dirawat di ICU RS. Panti Rapih, selalu terngiang ditelinga saya dia berucap, “Jangan Menyerah Mas”. Saya tidak tahu makna kata-kata itu, sampai kata-kata itu hilang saat saya mendekapkan tangan ke tangannya di dalam peti yang sempit itu. Pada kesempatan yang terakhir saya hanya bisa berdoa di depan peti jenazahnya. Namun doa saya sebenarnya adalah “berbincang” dengannya, “Apa maksud kata Jangan Menyerah itu Mas?”. Sambil saya tatap wajahnya yang beristirahat. Wajahnya bukan wajah tidur. Kesan yang muncul di kepala saya adalah berfikir dalam istirahat. Wajah itu tidak berubah. Wajah yang sangat serius, penuh dengan empati terhadap lawan bicaranya. Terasa dekapan tangannya ketika saat berjabatan tangan dengannya, yang sungguh-sungguh. Mas Tanto tidak pernah berjabat tangan dengan setengah telapak tangan atau tangan asal menempel, selalu didekap bahkan dengan dua tangannya sambil menatap wajah lawannya. Saya tidak merasakan kesan kematian yang mengakhiri perziarahan “dirinya” dalam jenazahnya.


Apakah substansi (ousiai) Mas Tanto?, begitu pertanyaan saya sepanjang hari itu. Guna menjawab pertanyaan ini saya meminjam jawaban Aristoteles atas Platon (“Plato”, dalam artikulasi sebagai Platon dalam bahasa Belanda) gurunya, Mas Tanto adalah hal-hal yang mendasari (hupokeimenon) karena ia ‘berada di bawah’ berbagai hal universal yang termanifestasi dalam dirinya (the ultimate subject of predication). Seperti yang terjadi tiga hari yang lalu, doa saya untuk tiga hari peringatan meninggalnya Mas Tanto saya wujudkan dalam monolog pembacaan saya atas dirinya yang kini, sudah bebas dari belenggu (penjara) tubuh inderawinya.


Kehidupan Bagi Mas Tanto adalah Petualangan Batin (Askesis)

Bagi dirinya kematian adalah pembebasan jiwa atas penjara tubuh, karena kehidupan adalah latihan jiwa (askesis) untuk memurnikannya. Askesis dilakukan dengan mengelola hasrat terhadap sesuatu maupun menolak sesuatu (aversion). Askesis secara ageree contra atas hasrat dan dorongan bertindak dilakukan dengan untuk menolak dorongan dengan melakukan kebalikan. Namun askesis yang dilakukan Mas Tanto berbeda dengan kaum Stoik yang tidak sampai pada keterlibatan diri atas penderitaan orang lain. Askesis Stoik hanya membantu untuk indifferent di depan penderitaan yang lain.

Aksesis Mas Tanto mirip dengan kaum creationist yang memberikan perspektif secara radikal; berbuat baik adalah wajib, berempati pada kaum papa adalah keharusan, karena ada Pencipta, dan bahkan Pencipta itu sendiri melakukan hal-hal itu untuk dicontoh ciptaanNya. Maka sungguh tindakan yang absurd apabila dalam kejatuhan ada manusia yang mengatakan sedang “dicobai” oleh Penciptanya. Sungguh apabila kejatuhan manusia itu karena dicobai oleh Penciptanya, maka menurut askesis yang dilakukan Mas Tanto, Pencipta itu pasti lemah. Ketika Dia jatuh, maka eksistensiNya sebagai “yang tunggal” gugur. Dengan demikian ia tidak percaya terhadap absurditas itu. Ketidak percayaannya adalah konsekuensi rasional atas keyakinannya. Setidaknya itulah yang tercermin atas pilihan-pilihan tindakan yang dilakukannya, menghasrati kehidupan batin dengan bermati raga. Rumah untuk kambingnya jauh lebih “mewah” daripada rumah tinggalnya.


Dunia selalu dikritik oleh Mas Tanto. Dunia dalam perkembangannya semakin tidak memberikan nilai pada kehidupan. Dunia yang selalu di kritik itu seakan menjadi unheimlich (tidak hospitable lagi) bagi dirinya dan manusia. Dalam konteks pertanian, seperti dalam kesaksian yang diberikan saat Misa Requiem, Mas Tanto menyatakan bahwa pertanian saat ini adalah agrisida, pertanian racun (membunuh) yang membasmi umat manusia demi kapital.


Kata-kata bagi Mas Tanto adalah refleksi atas kesatuan keseluruhan atas kehendak, pemikiran, dan tindakan. Tidak ada kehendak dan tindakan yang lahir bukan dari sebuah ide. Maka bagi dirinya tidak ada tindakan tanpa nilai. Ide seperti yang pada pemikiran jaman pra sokratik, ide digambarkan oleh Platon dalam alegori gua yang terkenal itu. Ide adalah intelegible, sempurna, diatas dari keinderawian yang tampak dan secara instan dapat dinikmati. Mas Tanto merawat ide itu setiap harinya. Perawatan itu tampak dalam setiap pertemuan pribadinya dengan siapapun. Tujuannya satu, melawan absurditas berfikir yang menyerahkan semuanya pada mainstream yang berdaya bunuh itu.


Jiwa (psykê) adalah immortal begitu kata Platon. Imortalitas jiwa merujuk pada yang tunggal, yang menggerakan keseluruhan “gerakan”. Yang tunggal sebagai the unmoved mover atau the prime mover pada filsafat pra sokratik. Meskipun ia menggeluti pemikiran Nietzche (1844-1900) pemikirannya tidak terperangkap dalam pikiran Allah mati secara harafiah. Kematian akan Tuhan dipahami sebagai perasaan terisolir, yaitu ketika nilai-nilai yang datang dari luar tidak dapat dipercaya. Seperti etikanya Immanuel Kant (1742-1804) yang menolak Allah sebagai obyek dalam filsafat skolastik Thomas Aquinas, ide atas etika Kant menempatkan Allah sebagai rujukan dan bukan pengetahuan. Maka tidak heran bila, dalam pandangan etisnya, doa menjadi absurd apabila dilakukan sebagai bagian dari pengetahuan bukan sebagai proses askesis, latihan batin untuk memurnikan jiwa. (Ritual) doa bagi Mas Tanto adalah wujud kemalasan untuk bertindak (bergerak), dan juga bukan atas kepatuhan kepada hukum dan Allah.

Pertanian sebagai Pilihan Etis Atas Pemihakan


Semenjak lulus kuliah dan kemudian “berpetualang”, Mas Tanto bertani organik. Bertani organik ini sebenarnya adalah keharusan substansi. Pertanian organik secara harafiah berkaitan erat dengan kehidupan semua makhluk. Kata “organik” itu sendiri sarat makna interaksi kehidupan. Konsep dasar bertani adalah mengelola transaksi energi. Transaksi energi berarti menerima dan membagi energi. Jika ada pertanian anorganik, maka itu bukan pertanian. “Jika tanah tidak bisa disebut makhluk, maka tanaman adalah makhluk yang paling mulia, karena dia memberikan keseluruhan hidupnya bagi makhluk lain”, demikian kata Mas Tanto pada suatu ketika.


Keseluruhan, totalitas tanaman inilah yang diam dalam diri Mas Tanto. Pertanian adalah keseluruhan hidupnya. Oleh karenanya keseluruhan dirinya diberikan untuk menciptakan interaksi yang mati akibat dominasi politik pangan di sektor pertanian. Interaksi bukan hadir dalam keseragaman. Keseragaman tidak menciptakan interaksi. Mengapa? Karena kebutuhan interaksi muncul karena perbedaan energi, karena “titah” (physis dalam filsafat Aristoteles) akan energi setiap makhluk berbeda.


Yang berlebih memberi, dan yang membutuhkan akan menerima, demikian energi itu mengalir dalam keseimbangan semesta. Dan itulah “teleologi” yang seharusnya berjalan. Dunia mempunyai tujuan yang berfungsi sedemikian rupa, sehingga perkembangan dunia sama sekali tergantung pada tujuan. Hal ini berarti setiap makhluk akan bergerak secara alamiah, dari potesi menuju actus, untuk merealisasikan “titahnya”. Hal ini bukan suatu kebetulan, karena gerakan semesta dalam perjalanan mencapai tujuannya (“telos” dalam kata teleologi). Oleh karenanya alam semesta bergerak dalam harmoninya dengan perbedaan titah yang dimilikinya. “Alam bertindak sebagai seorang tuan rumah yang baik, karena tidak membuang apapun yang dapat digunakan lagi”, demikian pernyataan Aristoteles dalam bukunya De generatione animalium. Alam tidak membuat sesuatupun dengan sia-sia saja dan tidak membuat sesuatu (secara) berkelebihan (Aristoteles dalam De Caelo). Itulah rasional atas Hukum Kekekalan Energi (yang kemudian disebut Hukum Thermoninamika I).


Harmoni gerakan alam dalam keseimbangan menuju tujuan. Keseimbangan yang lahir bukan karena kesamaan namun atas dasar perbedaan. Itulah yang dirawat Mas Tanto hingga akhir hidupnya. Mas Tanto merawat perbedaan agar setiap makhluk mengaktualisasi diri atas potensinya, bergerak dalam transaksi energi untuk mencapai eudaimonia (kebahagiaan) semua makhluk. Tanpa perbedaan gerakan tidak pernah ada. Dan konsep inilah yang disebut “kesejatian” atau “keutamaan” (arête) dalam filsafat Aristoteles. Hanya pemikiran yang disertai keutamaan dapat membuat manusia menjadi bahagia. Pertanian bukan semata persoalan bercocok tanam.


Kegiatan Mas Tanto dalam pertanian bukan tiba-tiba. Nama Tanto (de) Hobo adalah bagian “buah” petualangannya di Sumatera Utara sebelum tinggal bergelut dalam realitas bertani di Yogyakarta. Dalam sharingnya, Mas Tanto banyak diberikan “warna” filsafat bertani ketika singgah di Candi Dasa-Bali bersama (alm) Ibu Gedong Bagoes Oka. “Yang makan adalah hak bagi yang bekerja”, begitu katanya pada suatu ketika. Mengapa? Karena lapar adalah konsekuensi atas kebutuhan energi. Energi secara etis harus diperoleh melalui gerakan, karena energi terlepas karena gerakan.


Pertentangan adalah Abadi

Tidak jarang orang begitu kenal pertama dengan Mas Tanto memberikan kesan, “Mas Tanto serem”. Bahkan ketika kami fasilitasi kepada kelompok tani di Muntilan pada akhir tahun 90-an, para petani “takut”. “Saya selalu (merasa) salah”, begitu kesaksian rekan kadang tani. Perasaaan yang sama pun terjadi tidak hanya pada mereka, di tingkat pendampingnya pun merasakan yang sama. Maka tidak jarang, mereka (pendamping) pun merasa “layak” jadi peserta daripada fasilitator. Mas Tanto sering mengajukan pertanyaan yang tidak pernah diduga, mengagetkan. Pilihan katanya spesifik. Seringkali Mas Tanto menggunakan istilah yang tidak memiliki makna yang sama dengan yang dipahami umum. Kata ini baginya adalah makna reflektis atas pengalaman dan penghayatannya atas ide intelegible yang digelutinya.

“Mas Koko, saya fikir saat ini urgent untuk digagas rintisan Universitas Hidup Sewajarnya dengan satu fakultas dulu yaitu Fakultas Hidup Semestinya”, begitu suatu ketika Mas Tanto mengawali diskusi saat saya bertandang di rumahnya waktu malam sambil minum markisa dengan air panas. Saya terhenyak, betapa kita sudah kehilangan kata-kata, betapa kita sudah kehilangan jejak makna atas kata-kata. Ide Mas Tanto atas sekolah itu seakan membongkar kata-kata mati yang sudah kehilangan entitasnya. Mas Tanto tidak menggunakan kata-kata yang “ndakik ndakik” (mewah berkata dan kehilangan makna). Seperti ketika dirinya ketika memberikan nama atas padinya yang diperoleh dengan “mengambil” beberapa bulir padi bertiga hingga terkumpul sekitar satu sendok makan lalu disemai menjadi padi Tri Pandung Sari (Tiga Pencuri Yang Mulia).

Pencuri yang mulia, sungguh menjadi susah memahami ungkapan ini untuk diterima dengan landasan moral manapun. Tidak ada pencuri yang mulia, karena dengan mencuri kemuliaannya akan musnah. Melanggar sekaligus menegakkan. De-konstruksi sekaligus re-konstruksi.

“Pertentangan” ini selalu hidup dalam diri Mas Tanto. Seolah Mas Tanto ingin menunjukkan bahwa “pertentangan” adalah energi. Seperti yang ada secara alamiah di dalam semua makhluk, “pertentangan” yang terdiri dari hal-hal yang saling berlawanan dan hal-hal yang saling berlawanan tersebut memiliki kesatuan. “Perang (polemos) adalah bapak segala-galanya”, demikian pernyataan Herakleitos mengenai “pertentangan”. Kesehatan diakui karena ada penyakit, yang baik ada karena ada yang buruk. Semuanya merupakan sintesis yang saling beroposisi. Maka menjadi sangat dipahami jika semasa sakitnya, Mas Tanto selalu “menyangkal”. Hanya sekali Mas Tanto mengakui kekeliruannya tentang hal ini, “ Saya keliru Mas, rumongso kuwat lali ngombe banyu putih”, katanya ketika kami bicara pada bulan November lalu.

Bagi saya dialektika pertentangan dalam diri Mas Tanto selalu ada bahkan ketika seorang sahabat dari Getas Sleman berceritera, Mas Tanto di hari terakhirnya “nganeh-anehi”. Dari Bantul makan serasa tidak ada pantangan, semua dinikmatinya, jam 12 malam datang singgah kemari, katanya. Dalam obrolan tengah malam itu Mas Tanto bicara sambil sesekali tertidur, kadang disertai nafas tersengal. Mas Tanto diminta untuk istirahat, rebahan, beberapa saat, jika perlu tidur di Getas. Namun itu semua toh dibantahnya, “Aku ki sehat dik, aku ki ora opo opo”, kata Mas Tanto. Akhirnya selama tertidur, Mas Tanto dibawakan oksigen dari Semaki Jogja. Begitupun, Mas Tanto seperti tidak merasa butuh. Setelah dihirup beberapa saat dan “mengaku” lebih baik pada pukul 01.30 Mas Tanto ingin pulang ke Keceme. Tentu dengan kekhawatiran sahabat saya, Mas Tanto diijinkan, namun jika setengah jam kemudian tidak ada kabar, maka sahabat saya sudah ada di Keceme. “Ancaman” ini efektif. Jam 03.30 Mas Tanto memberikan kabar bahwa dia dengan tabung oksigennya sudah di rumah Keceme.

Betapa konsisten Mas Tanto memegang keyakinannya. Sahabat saya sampai “judeg” pernah mengatakan, “Gusti Allah saja kalau kasih nasehat ke Mas Tanto belum tentu akan dituruti”. Keyakinannya ditampilkan sebagai bentuk atas kehati hatiannya yang konsisten itu atas pilihan etisnya. Kalau perlu Tuhan itu dikritik, Tuhan perlu digugat, dengan demikian kita tahu keseluruhan maksud Tuhan yang sejati. Dengan demikian dunia terhadap teleos–nya dari kehidupan ini akan berevolusi, bergerak dan bergerak.

Berlutut di Hadapan "Yang Tunggal"

Mas Tanto selalu menangis ketika kami berdialog dan sampai pada refleksi teologis. Kata-katanya bergetar, dan rokoknya terhenti. Tuhan itu keseluruhan jagad yang hadir tidak hanya dalam diri manusia, tapi pada batang padi, pada cempe, pada gurem, pada apapun yang menjadi organ kehidupan beserta titah yang menyertainya. Seperti yang dijelaskan Masanobu Fokuoka tentang jerami dalam bukunya The One Straw Revolution (Revolusi Sebatang Jerami). Seperti pohon gayam yang jemari akarnya saling mengikatkan diri untuk menjaga aliran air disungai Keceme. Air menjadi yang utama. Air menjadi keseluruhan nafas kehidupan. Seperti sumur yang berada persis di depan kedua pintu rumahnya. Tanpa sumur itu tidak akan ada kehidupan dengan akal sing wening.


Tangisan itu bagian parsial dari keseluruhan universalitas nafas Tuhan dalam keseluruhan kehidupan. Tangisan adalah kerendahan sikap terhadap yang tunggal, yang utama. Dan itu ditunjukkan dalam pahatan di nisan ibundanya, yang dilakukan sendiri yang berbunyi, “Ngabekti Konjok ing Gusti Mangku Urip Sejati” (Berbakti kepada Tuhan Memangku Hidup Sejati). Sekali lagi hal itu konsisten dengan pilihan lagu yang selalu disenandungkannya dengan berkaca-kaca, dan menjadi lagu pembukaan dalam Misa Requiemnya:





Amba Pratiknya



Amba pratiknya mring Gusti,

Sakit dumugeng tiwas,
Badhe tansah setya ngabdi,
Mring Pangeran murbeg rat.
Setya Pasamuwan Suci,
Amba temtu unggul jurit,
Mengsah lan bala setan.




Atas semuanya, diakhir tulisan saya yang belum juga selesai, saya hanya bisa
mengucap “Sembah nuwun konjuk ing Gusti”, Engkau telah “berikan” Mas Tanto dalam kehidupan saya.***



Jakarta, 17 Januari 2011


Di hari ke-3 peringatan “kepulangan” Mas Tanto,


Koko

Friday, January 14, 2011

Selamat Jalan Mas Tanto...







Sungguh menyesal saya tidak dengar dering telepon itu. Natal 2010, Mas Tanto telepon berkali kali, dan saat itu saya telepon balik tapi tidak diangkat. Dua hari yang lalu, saya mendapat kabar dari seorang teman, Mas Tanto kritis di ICU Panti Rapih.

Persis seperti biasanya, ketika terlintas bayangan Mas Tanto muncul disitu ada "sesuatu" yang tidak pernah saya tahu. Namun saya "diberitahu". Termasuk keinginan segera berangkat ke Jogja akhir minggu ini, dan saya ragu-ragu. Agaknya Mas Tanto "memaksa" saya untuk kembali besuk pagi.

Tadi sore, pukul 17.30, 14 Januari 2011, Mas Tanto kembali kepadaNya. Mas Tanto, sudah melakukan yang terbaik dalam hidupnya. Evolusi, melawan determinisme, menyapa alam, menyapa kehidupan. Dan itulah yang selalu saya pelajari. Sedih tidak bisa mendampingi Mas Tanto. Tapi Mas Tanto tahu, betapa saya gelisah dua hari ini. Dan betapa kegelisahan saya membangunkan dirinya dari komanya, meski hanya sebentar dalam respon melalui tangan.

Mas Tanto, terakhir kita bicara, saya kenal kembali. Saya kenal kembali suara Mas Tanto. Saya mengenali "pribadi" yang selalu mengajak, mempersuasi untuk menyelaras dengan kehidupan alam. Aristoteles, filsuf besar itu seakan hadir, dalam pribadi Mas Tanto. Keutamaan jiwa harus memimpin etika untuk menghasrati kehidupan yang luar biasa ini.

Mas Tanto, saya ingat cerita seorang sahabat. Dia mengatakan, orang Belanda yakin, lebih baik memilih mati di atas kuda daripada mati di tempat tidur. Itulah yang Mas Tanto ajarkan 1 tahun terakhir ini. Tidak ada tangis, meski tangis niscaya akan menyertai perjalanan berpulang.

Mas, besuk adalah hari terakhir saya akan ketemu mas Tanto. Sudah tidak ada tangis lagi, kecuali peluk dan membiarkan tubuh saya bicara; Selamat jalan Mas... Mas Tanto sudah menyelesaikan semuanya. Mas Tanto sudah meletakkan dasar. Mas Tanto sudah ... sudah.. sudah memberikan semuanya. Keabadian, kesejatian, eudaimonia (kebahagiaan) yang hakiki sebagai tujuan tertinggi manusia.

Mas Tanto beristirahatlah dalam damai. Requiescat In Pace.

Wednesday, January 12, 2011

pak tiffy dan rim :)

by Kiki Emeralda on Monday, January 10, 2011 at 1:49pm

baru sekali ini mbak bakul sedino nulis 2 note, jarang jarang, dan memang pak tiffy yang bisa membuat mbak bakul begitu...

tulisan ini bukan bermaksud menyudutkan pak tiffy dan orang2 yang setuju dengan kebijakan beliau, dan bukan untuk memecah belah dan jajahlah (elingo iku politik kompeni biyen hahahaha)

cuma ini adalah tulisan ungkapan ke getunan dari seorang ibu rumah tangga yang membakul dan karena dia hidup di jaman sekarang, maka bakul memanfaatkan teknologi... :)

dan oh iya, kalo misalnya ada nyandak nyandak dengan ilmu komunikasi dan mbak bakul ndak pandai berteori, mohon mangap :) mbak bakul wayah e kuliah memang lebih sergep di meja makan prasmanan ketimbang duduk anteng di bangku mendengarkan kuliah hahahaha

langsung saja yoooo :) apa yang menarik dengan pak tiffy? jawabannya berkaitan dengan twitter :) kadang saya mau bilang, pak jennengan itu mentri lho, eh mbok ya ojo twat twit twat twit :) tapi mungkin eranya beda, mentri juga butuh twitter untuk mengetahui seperti apa respon rakyat, bahkan mungkin semua anggota dpr kudune juga twitteran? ben negara ini menjadi negara kesatuan yang berbentuk twitter :) cukup twit dan semua selesai :)

kadang ya...saya berpikir, jenenge komunikasi itu kan intine adalah, ada yang menyampaikan, ada yang mendengarkan, ada pesan yang disampaikan dan ada saluran yang digunakan, dan oh iya satu lagi, gangguan yang menyebabkan pesan menjadi terdistorsi (weeee sangar yooo teorine hahahaha) makanya, saya agak gumun dengan pak tiffy ini, saluran twitter ini jan jane untuk komunikasi bagaimana? formal kah? begejekan kah? atau batasan formal dan begejekan memang sudah ndak ada di dunia maya dan di situs situs jejaring sosial? kalo saya sebagai bakul yo ndak popo, la wong rakyat jelata, lha nek mentri, opo yo kenek nyampur ngono, begejekan dalam memberikan informasi yang penting, kalau memang begitu jangan jangan, pernah juga dilakukan memberikan informasi ndak penting dalam bahasa sing resmi :)

lalu berkaitan dengan RIM, saya mambengi sampe tidur malem karena membaca twit2 tentang rim, bojo sudah tidur, jadi saya aman buat online, dan saya menemukan hwaaaaa ruame pol, ada komentar2 yang begejekan, nggilani, serius apatis dan entah ada lagi, dan ada juga yang mendukung pak mentri namanya indrapiliang, dan saya baru tau kalau beliaunya ini dadak tokoh ngetop ya :)

yang menjadi catatan saya adalah 1. rim harus menyensor konten pornografi...ini saya agak bertanya tanya, lho laopo kok rim sing di kongkon? kenapa kok ndak kita saja yang menyensor, jadi begitu masuk di indonesia yo wis ndak bisa diakses, mestine ancaman terhadap rim dan pornografi ini boleh dilakukan kalo misalnya kita orang indonesia sudah memblokir porno dadak rim membuka sak enak udel e, lah nek ngene masalah e boleh lah mengatakan enough is enough, lah nek endonesah e dewe ndak jajal nutup akses lha kok ngongkoni wong, nek rim e njawab "eh siapa elo?" trus piye? nah jare pak indrapialang mobil aja ada sim nya, la black berry kan di pake anak sd jadi memang hal ini harus dilakukan :)

yang saya tanyakan ada berapa anak sd yang pake bb, dan ada berapa luasan yang sudah terkena layanan 3G di indonesia sehingga pornografi bisa di akses? setahu saya cuma batam, jakarta dan surabaya, itupun belum merata, dengan kata lain kota2 sedang atau pinggiran kota, masih nderenges dengan fasilitas yang begitu :)

trus nyandak masalah nasionalisme, jangan sampai pihak asing menginjak2 indonesia, kita harus menekan mereka membuat server disini, dan menyerap tenaga kerja indonesia... lah wong wong iki lali tah, nek kita menekan sebuah badan berarti kita punya nilai tawar yang tinggi, atau kalo ndak kita akan bicarakan dengan mereka dengan memberitahukan keuntungan yang akan mereka dapatkan kalo mereka pasang server dan menghire orang indonesia, lah ikilak wong dagangan, nek itungane pek pok tak jamin gak ono sing gelem budal lah :) mbak bakul ae nek ono pesenan tapi pekpok dan ndak akan ada repeat order yo emoh, masak mbakul oleh kemmeng thok :) eh mbok ya ngomong apik apik an lah, nego begitu, sana untung, sini untung, sana butuh sini butuh nek methenteng karepe dewe yo angel lah :)) nek RIM trus ngomong gak pathik en rek dengan indonesia trus kene ditinggal? oh yo ndak popo nek bangsa indonesia sudah membuat teknologi alternatif secanggih bb, saya malah seneng dengan produksi sendiri, podo misal e nek dikon milih nggawe batik dengan kain sari, saya yo milih batik, karena gaweane bangsa dewe :)

yang terakhir yang menjadi catatan adalah : upaya itu (ancaman kepada RIM atau apalah namanya) dilakukan untuk mendisiplinkan perusahaan perusahaan... ini yang mebuat saya ngguyu ngenes, tertawa satir... pak pak, kok njenengan umek mau mendisiplinkan perusahaan asing, nek wong wong e dewe jik blakrak :) disiplin opo? patuh pada peraturan? trus peraturan e sopo? peraturane kene? la sing melaksanakan peraturan iku wis nggenah kabeh tah pak? lapindo wis beres tah? mentawai wis balik asal tah? jogja wis beres tah? oalah :)

saya bukan warga negara yang paling baik, tapi saya berusaha sebaik mungkin dadi warga negara, buktine, saya masih mau ikut pemilu, memilih yang terbaik diantara pilihan pilihan yang nganeh2i, saya tetep percaya bahwa bangsa ini masih akan bangkit, saya juga masih percaya (meskipun jan iki goblokku dewe) bahwa yang jahat di pemerintahan itu adalah oknum....

dari nge twit dan kebanggan bangsa, aku cuma ngarep, mbokya wong wong iku podo gennah gennahan :)

mugo2 kabeh anggepanku salah, bahwa komunikasi memang bisa dilakukan di channel atau saluran mana saja demi hasil yang lebih baik, yo dungakno hasile selalu lebih baik yo pak tiffy....

Tuesday, January 04, 2011

Tentang UANG!

Uang berperanan penting bagi masyarakat modern. Uang memiliki nilai (value[1]). Meskipun uang memiliki fungsi sebagai alat tukar untuk mendapatkan utilitas, fungsi uang tidak melulu sebagai “alat tukar” untuk mendapatkan barang dan jasa. Nilai uang yang terkandung di dalamnya memiliki fungsi sebagai “nilai utilitas” (value of ultility) dan sebagai “nilai tukar” (value of exchange). Dalam fungsinya untuk mendapatkan utilitas, uang berperan untuk dipertukarkan dengan barang atau jasa yang memiliki utilitas tertentu. Oleh karena nilai uang terbatas, maka sejumlah uang dengan nilai tertentu dapat dipertukarkan dengan barang atau jasa dengan tingkat utilitas tertentu juga. Utilitas berhubungan dengan kelangkaan barang dan jasa. Semakin banyak jumlah sesuatu maka nilainya semakin rendah, sebaliknya semakin sedikit nilainya semakin tinggi. Seperti air dan berlian, air lebih mudah ditemukan daripada berlian. Oleh karena kelangkaannya, berlian memiliki nilai lebih tinggi daripada uang. Namun mengapa jika terdapat dua atau lebih berlian dapat dipertukarkan dengan sejumlah nilai uang yang berbeda? A. Smith mengatakan kemungkinan disebabkan karena utilitas dan keindahannya[2]. Kemudian persoalan berikutnya adalah bagaimanakah cara menilai keindahan (beauty) berlian sehingga memberikan nilai uang yang berbeda? Lalu bagaimanakah seseorang bisa menentukan kesesuaian nilai keindahan berlian dengan nilai uang tertentu? Apakah seorang penilai (kurator) berlian yang memiliki kemampuan menilai berlian memiliki selera tertentu yang kemudian bisa disesuaikan dengan nilai uang tertentu? Bagaimana seseorang sepakat atas keindahan sehingga bersedia menukarkan sejumlah nilai uang tertentu dengan berlian?

Kisah uang dalam berlian di atas berbeda dengan kisah air. Air tersedia melimpah jika dibandingkan dengan ketersediaan berlian. Seseorang secara absolut membutuhkan air untuk kehidupannya. Bahkan, tubuh manusia sebagaian besar terdiri atas air. Ketika air langka, dan manusia kesulitan untuk mendapatkannya orang akan membelanjakan uangnya, berapapun besarnya untuk dipertukarkan dengan air. Namun sebaliknya, pada saat air melimpah, manusia selain menggunakannya untuk hal-hal sekunder juga memberikan nilai uang yang lebih rendah jika dipertukarkan dengan air. Dalam kondisi tersebut manusia memiliki situasi yang sama, jika tidak ada air maka dirinya akan mati. Namun mengapa manusia memberikan nilai uang yang berbeda terhadap keduanya? Bukankah secara utilitas air memiliki nilai yang lebih tinggi daripada berlian? Namun mengapa air diberikan nilai tukar uang yang lebih rendah daripada berlian?

Aristoteles menjelaskan pertukaran ini memberikan pembedaan bahwa pada saat manusia memiliki barang-barang yang berbeda, dan guna memenuhi kebutuhannya maka manusia melakukan barter. Pertukaran ini dimungkinkan karena memenuhi syarat- syarat kecukupan alamiah dan tidak bertentangan dengan alam. Uang menjadi media untuk dipertukarkan dengan barang-barang. Dalam hal ini Aristoteles menyebut uang sebagai ukuran dalam pertukaran[3]. Pemaknaan Aristoteles atas pertukaran didasarkan pada perbedaan antar manusia dalam kepemilikan barang-barang. Pertukaran ini adalah pertukaran alamiah karena perbedaan kebutuhan tiap manusia dengan manusia lain. Perbedaan kebutuhan ini yang menjadi dorongan untuk pertukaran. Dengan sendirinya, pada saat seseorang tidak memerlukan barang lain dalam memenuhi kebutuhannya untuk hidup dirinya tidak perlu menukarkan barangnya. Uang sebagai medium untuk pertukaran, menjadi ukuran dalam pertukaran tersebut.

Kembali pada paradoks air dan berlian, mengapa manusia memberikan nilai uang yang lebih rendah pada air meskipun air lebih menentukan kehidupan manusia?. Utilitas dalam terminology Adam Smith mengarahkan pada pengertian manfaat, kenikmatan. Manfaat yang lebih memberikan kenikmatan yang lebih pula. Apakah kenikmatan adalah tujuan akhir manusia? Aristoteles dalam karyanya Ethica Niomachea menjelaskan bahwa kebahagiaan (eudaimonia) adalah tujuan akhir dan tertinggi manusia. Kebahagiaan adalah actus bukan potensi. Kebahagiaan manusia terdiri dari aktivitas khusus yang mengakibatkan manusia mendapatkan kesempurnaan, seperti kesempurnaan mata untuk melihat. Kesempurnaan manusia adalah aktualisasi kemungkinan tertinggi yang dimiliki manusia yaitu rasio. Kemampuan manusia dalam berfikir disertai dengan keutamaan (aretê) dalam jangka panjang dapat membuat manusia bahagia[4]. Dalam pandangan metafisika Aristoteles, manusia sempurna adalah substansi dan kebahagiaan adalah aksiden yang bersifat tidak tetap dan selalu berubah. Dalam pemikiran Aristoteles tentang kebahagiaan, uang sebagai “adaan” (being) dalam hubungannya dengan manusia adalah membahagia. Uang menjadi sarana untuk mendapatkan pendidikan, untuk rekreasi (menambah pengalaman), untuk memenuhi kebutuhan yang tidak dimiliki untuk meningkatkan kualitas hidup dan sebagainya.

Lalu bagaimanakah caranya agar seseorang dapat memiliki uang untuk dipertukarkan? Segala sesuatu yang dipertukarkan berasal dari sesuatu yang dimiliki kemudian dipertukarkan dengan uang termasuk tenaga kerja. Tenaga kerja adalah harga awal yang kemudian digunakan untuk dipertukarkan untuk segala sesuatu yang akan dipertukarkan (dibeli). Ketika seseorang memiliki kekayaan, ketika itu pulalah dirinya dapat mengadakan sesuatu tergantung dari jumlah kekayaan yang dimilikinya. Adam Smith kemudian mengutip Hobbes bahwa kekayaan adalah kekuatan. Dengan uang seseorang dapat memiliki beragam jenis sesuatu dan semakin banyak kekayaan atas uang yang dimilikinya seseorang dapat memiliki segala sesuatu secara lebih beragam. Keberadaan uang sebagai being menjadi bagian terhadap sesuatu yang lain untuk mengkaya. Uang terhadap uang lain dan terhadap sesuatu yang lain menjadi aksiden-aksiden terhadap manusia sebagai substansi.

Dalam perkembangan antar waktu, uang sebagai being terhadap being lainnya menjadi lebih kuat peranannya terhadap sesuatu yang lain dalam proses mengkaya. Hal ini disebabkan karena sifat kemudahannya untuk dipertukarkan, terutama ketika seseorang sudah memiliki sesuatu yang lain. Semakin mudah sesuatu untuk dipertukarkan mempengaruhi seseorang untuk memiliki, menguasai sesesuatu tersebut. Bahkan kepemilikian (kepenguasaan) atas sesuatu yang lebih mudah dipertukarkan tersebut menjadi penentu keberadaan manusia terhadap manusia lain ketika barter sudah terhenti. Hal ini terjadi juga terhadap tenaga kerja. Seorang produsen (yang menghasilkan sesuatu) akan menukarkan sesuatu yang dihasilkannya dengan sejumlah uang tertentu dan menukarkan uangnya untuk tenaga kerja dan sesuatu yang lain. Selisih antara pertukaran sesuatu dengan uang dan uang yang dipertukarkan terhadap sesuatu akan dimilikinya sebagai kekayaan. Selisih ini disebut keuntungan.keuntungan dalam rentang waktu yang panjang akan bertambah. Bagi seseorang yang tidak memiliki barang namun hanya memiliki kemampuan bekerja dalam waktu tertentu, akan menukarkan kemampuan bekerjanya untuk uang yang akan dipertukarkan dengan barang (sesuatu) yang tidak dimilikinya. Uang kemudian memiliki “daya pikat” karena kemudahannya. Uang menjadi titik temu manusia ketika mereka membutuhkan uang dan sesuatu. Lalu mengapa air tidak lebih berarti terhadap berlian? Dalam arti uang, berlian lebih menjanjikan dapat dipertukarkan dengan banyak uang daripada air meskipun air memiliki peran vital bagi kehidupan manusia. Manusia akhirnya tidak konsisten dalam pertukaran, tidak lagi didasarkan atas utilitas, manfaat terhadap kehidupan manusia, namun lebih didasarkan atas kepenguasaan uang dalam hidup mengkaya. Sementara azas mengkaya berbeda dengan azas membahagia. Uang tidak menentukan kemampuan berfikir manusia untuk semakin sempurna.

Plato melihat bahwa kebahagiaan yang ditunjukkan dengan kepemilikan terhadap kekayaan adalah contoh saja dari universalitas kebahagiaan itu. Setiap orang memiliki kebutuhan utama yang sama yaitu kepemenuhan kebutuhan hidupnya. Meskipun kepemenuhan kebutuhan manusia adalah universal, kepemenuhan kebutuhan dengan kepemilikan kekayaan bersifat subyektif. Ada orang merasa bahagia dengan memiliki uang banyak, namun ada orang yang bahagia memiliki sedikit uang. Dalam pengertian tersebut, maka uang menjadi “terbatas”. Uang terbatas bermakna pada sesuatu yang bersifat pengganti atas sesuatu yang lain yang dipertukarkan untuk sesuatu yang baru (yang tidak dimiliki). Dalam hal ini uang tidak memiliki arti untuk “digandakan” atau “dikembangkan” lebih besar lagi, karena uang memang seperti adanya, menjadi alat tukar, bukan menjadi hal utama seperti sesuatu yang menjadi harapan pertukaran itu. Tiap-tiap benda harus berfungsi menurut tujuannya. Tujuan uang adalah tukar-menukar bukan menghasilkan buah-buah, sebagaimana halnya dengan pohon. Uang tidak boleh digunakan untuk menghasilkan bunga, karena bunga adalah cara menambah kekayaan dengan sembarangan.

Namun dalam perkembangannya uang Uang tidak lagi menjadi sarana alat tukar untuk sebuah utilitas, dengan alasan memaksimalkan keuntungan, uang dipertukarkan untuk mendapatkan uang lebih banyak lagi. Uang tidak lagi berfungsi sebagai alat tukar, uang bisa diperdagangkan di pasar uang. Konsep “hutang-piutang” secara komersiil adalah memberikan uang untuk dipergunakan oleh pihak lain dan dikembalikan dengan “harga uang” atau bunga. Bunga ini menunjukkan bahwa uang memiliki “nilai” yang dapat dipertukarkan.Pandangan Aristoteles menjadi sulit dimengerti dalam konteks peradaban modern. Uang bukan hanya menjadi “terbatas” sebagai alat tukar namun meluas menjadi alat spekulasi. Terlepas dari persoalan etis, kesalahan dalam memahami makna metafisis uang mungkin mengakibatkan etika yang keliru terhadap uang.***


-------------------------

[1] Seperti pada awalnya pertukaran terjadi, Adam Smith (1776) menyatakan bahwa nilai uang mencerminkan dua hal sekaligus yaitu “value of utility” dan “value of exchange”. Adam Smith dalam salah satu karyanya An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations menyatakan bahwa: The word VALUE, it is to be observed, has two different meanings, and sometimes expresses the utility of some particular object, and sometimes the power of purchasing other goods which the possession of that object conveys. The one may be called 'value in use’, the other, 'value in exchange.' The things which have the greatest value in use have frequently little or no value in exchange; and, on the contrary, those which have the greatest value in exchange have frequently little or no value in use. (Smith., A., An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations, London; Meuthen & Co., 1904, hal. 45)

[2] Ibid. hal. 304

[3] M. Nurul Huda (2005) Pemikiran Ekonomi Aristoteles dalam Jurnal Filsafat Driyarkara Th XXVIII No 2/2005, hal 33-36.

[4] Bertens., K (1999), Sejarah Filsafat Yunani, hal 193-200.

"Why is there beings at all instead of nothing?"

Dalam buku “Introduction to Metaphysics”, Heidegger (1889-1976) memulai dengan pertanyaan yang selalu diulang-ulang yaitu “Why are there beings at all instead of nothing?”. “Why” (Mengapa) dapat diartikan mempertanyakan lebih dalam mengapa dari mengapa sebagai dasar (eksistensi) beings secara keseluruhan. Mengapa artinya juga mempertanyakan dari dasar (fundamen) apakah beings berasal. Dalam dasar apakah beings “berada” dan dalam dasar apakah beings akan terus ada. Namun pertnyaan tersebut tidak mempertanyakan tentang “beings” itu sendiri, namun apakah “beings” itu dalam berbagai adanya, disini dan disana, dan bagaimanakah hal itu diletakkan bersama, apakah dapat dipertukarkan, bagaimana penggunaannya, dan seterusnya. Pertanyaan ini juga mencari sebab dari beings, penyebab dari beings lainnya dan tingkatan beings itu sendiri. Maka pertanyaan tersebut adalah awal dari segala macam pertanyaan.

Dalam menjelaskan pertanyaan ini Heidegger memberikan pengandaian terhadap kepercayaan Kristen dimana pertanyaan ini tidak mudah untuk disejajarkan dengan ide penciptaan dimana Allah adalah the uncreated Creator. Pertanyaan ini mengadung pencarian dalam kehausan, mempertanyakan terus menerus dan tidak terbatas dengan waktu. Seperti filsafat adalah salah satu dari kemungkinan kreatif yang otonom dan kepentingan-kepentingan tertentu yang selalu muncul dalam kesejarahan Dasein. Filsafat juga memiliki dua misinterpretasi yaitu filsafat sabagai dasar budaya dan filosofi memberikan gambaran terhadap dunia. Namun filsafat sebagai yang luar biasa dapat bertanya tentang sesuatu yang luar biasa seperti yang dikatakan Nietzsche (VII, 269), “Seorang filsuf; adalah manusia yang secara konstan mengalami, melihat, mendengar, menggambarkan, menharapkan, memimpikan sesuatu yang luar biasa”.

“beings” dalam bahasa Yunani disebut phusis yang biasanya diterjemahkan sebagai alam (nature) dan dalam bahasa latin disebut natura yang artinya menjadi lahir. Phusis dimaknai sebagai emerging to sway (sesuatu yang nampak dan selalu bergerak). Kenampakan ini, keadaan yang selalu bergerak mengandung arti kemenjadian (becoming) sekaligus Being dalam arti sempit dalam kontinuitas yang tetap. Beings sebagai bagian dan keseluruhan adalah phusis yang memiliki esensi sendiri dan karakter yang Nampak dan selalu bergerak. Hal ini kemudian membawa pada sesuatu yang musti diterima makna phusis dalam arti yang lebih sempit; ta phusei onta, ta phusika secara alamiah. Ketika phusis dipertanyakan secara umum, bahwa dalam hal apakah beings itu, tidak dapat diartikan sebagai sesuatu yang tinggal dalam sesuatu namun di atas ta phusika. Dalam bahasa Yunani, diatas segala sesuatu yang nampak adalah metta. Pertanyaan filosofis tentang beings adalah metta ta phusika yang maknanya mempertanyakan sesuatu di atas beings. Sehingga makna phusis adalah Being dari beings. Meskipun doktrin Being sebagai actus purus (Thomas Aquinas) sebagai konsep absolut (Hegel), sebagai kebutuhan abadi untuk berkuasa (Nietzsche) metafisika tetap berarti fisika. Konsekuensinya terdapat perbedaan antara pertanyaan tentang Being (tentang being as such, meskipun dalam buku Being and Time sebenarnya mempertanyakan Being as such) dengan being as such. Oleh karena itu “introduction to metaphysics” berarti memulai untuk mempertanyakan secara fundamental seperti apa adanya.

Pertanyaan “Why are there beings at all instead of nothing” merupakan pertanyaan yang menyelidik. “Why are there beings at all” bermakna indikasi tertentu tentang sesuatu yang ada di dalamnya, yang diselidiki dan indikasi dari sesuatu yang diselidiki adalah yang diselidiki, yaitu beings. “Instead of nothing” bermakna pelengkap seperti yang ada di dalamnya. “nothing” (Das Nichts) adalah ketiadaan. Being atau Nothing adalah being. Nothing adalah pasangan das Sein. Being tidak berada dalam observasi beings. Being sebenarnya tidak tampak, seperti suara motor yang sebenarnya kita hanya mendengar “kebisingan” dan bukan suara itu sendiri. Lalu di manakah Being itu berada dan terdiri dari apa? Being seperti misteri. Being mirip dengan Nothing. Being berarti aktual, berwujud, nyata. Seperti yang dikatakan Nietzsche ketika disebut konsep tertinggi, Being adalah bisikan suara terakhir dari realitas penguapan (Twilight of the Idols VIII, 78). Pertanyaan berikutnya adalah apakah penyelidikan atas Being sebagai konsep yang universal mencapai esensi Being? Apakah ontologi dari Being? Pertanyaan ini dapat dijawab dengan menggunakan dua jenis ontologi “baru”, karena terdapat kegagalan ontologi tradisional dalam menjelaskan ketiadaan Being.

Dari pertanyaan kunci pada alinea awal di atas kita mendapatkan pertanyaan awal (Vor-frage); Bagaimana sesuatu berada di dalam Being? Jika being adalah kata yang berarti uap air apakah artinya “Being” berada di dalam “keharusan nasib” dari orang-orang Barat (Eropa)? Untuk menjawab pertanyaan ini diperlukan pertanyaan awal yang bergerak dari dasar sejalan dengan pertanyaan tentang kesejarahan. Ilmu sejarah menyelidiki sesuatu secara temporal, namun filsafat menyelidiki sesuatu supratemporal. Filsafat adalah kesejarahan jika seperti bekerja dalam spirit yang menunjukkan dirinya pada masa tertentu. Metafisika mempertanyakan sesuatu secara historis hanya dapat menunjukkan sesuatu yang jelas ada.relasi kesejarahan dari kesejarahan Dasein menuju sejarah dapat menjadi obyek dari pengetahuan dan pengembangan teori teori pengetahuan. Ilmu sejarah tidak pernah dapat “melembagakan” (instituted) relasi kesejarahan dari sejarah. Hanya dengan filsafat relasi esensial dengan beings secara tajam dan oleh karena itu relasi ini dapat dan harus menjadi kesejarahan asli dari Dasein. Sejarah tidak semata berarti apa yang ada di masa lalu, atau apa yang tidak terjadi lagi. Namun sejarah berarti sesuatu yang tidak pernah terjadi tetapi selalu “terlewati”, masuk dan keluar. Sejarah sebagai “yang terjadi” ditentukan dari masa depan, yang mengambil alih “yang sedang berjalan”, yang bertindak dan bertahan dalam jalannya disaat ini. Pertanyaan metafisis dari kesejarahan adalah membuka Dasein dalam relasinya yang esensial, tentang kemungkinan yang belum muncul, dan yang akan datang (Zu-kȕnften). Pada saat memaknai “dunia” pada frase “penggelapan” dunia, berarti dunia spiritual yang bermakna “penggembosan” spirit (kesalahan interpretasi dari “dunia” atau spirit).

Kesalahan dari interpretasi (pemaknaan) spirit salah satunya adalah spirit sebagai (1) kecerdasan (intelligence) mengorganisasi, berhitung, dan mengobservasi sesuatu. Kecerdasan hanyal kemiripan dengan spirit dan menutupi ketiadaan. Spirit yang dipalsukan sebagai (2) kecerdasan menyempitkan peran dari kemampuan melayani sesuatu yang lain yang dapat difikirkan dan dipelajari. Kesalahan (3) interpretasi instrumentalia yang di bangun atas spirit, keberadaan kekuatan spiritual dalam karya seni dan agama. Dan kesalahan terakhir adalah kesalahan interpretasi (4) spirit dalam bentuk yang mewakili kecerdasan untuk sebuah tujuan dengan sesuatu yang dapat diproduksi sebagai hasil budaya. Dalam hal ini sebenarnya spirit adalah pemberdayaan dari kekuatan spirit sebagai esensi yang sebenarnya sebagai “beings as such” dan secara keseluruhan.

Oleh karenanya kenyataan Being saat ini lebih dari sekedar kata. Being bermakna “perpindahan” uap. Ketiadaan dari kata “Being” bukan hanya “mematikan” penamaannya, namun juga bentuk kekerasan bahasa. Lebih dari sekedar merusakkan relasi Being as such sebagai fundamen yang paling dasar dalam keseluruhan relasi bahasa.

Heidegger pada bab pertama ini menekankan pada makna atas pertanyaan fundamen; Why are there beings at all instead of nothing?”. Pertanyaan ini dimaksudkan untuk menjelaskan secara lebih jelas dalam berbagai tinjauan atas eksistensi beings secara keseluruhan. Heidegger dalam hal ini menjelaskan pula bahwa pertanyan tersebut adalah pertanyaan pertama (yang utama) dari keseluruhan pertanyaan.

Filsafat memberikan dasar mengenai pertanyaan tentang “mengapa”. Heidegger juga menjelaskan mengenai “phusis” sebagai dasar being as such. Hal ini menjelaskan dalam terminology “phusis”, being as such harus dipahami dalam makna phusis secara sempit. Metafisika dalam hal ini mempertanyakan di atas being as such, oleh karenanya metafisika disebut sebagai pioneer dalam menjawab pertanyaan fundamental tersebut. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, Heidegger juga menggunakan pemisahan (pemenggalan) kalimat antara “Why are there beings at all” dan “instead of nothing”. Dengan mengulas makna “nothing” secara filosofis dan metafisis, Heidegger tampaknya memiripkan antara Being dan Nothing sebagai being. Artinya “ada” adalah mirip dengan “ketiadaan”. Sebagai sebuah fakta ontologism, “ada” juga harus dipahami sebagai “ketiadaan". Oleh karena itu untuk memahami Being secara ontologis harus dengan cara yang “baru” yang tidak tradisional.

Being dalam gambaran Nietzsche sebagai sesuatu yang ada sebagai uap air (vapor). Seperti dalam menyelidiki kesejarahan, filsafat menyelidiki sejarah sebagai sebuah fakta (faktisitas) manusia dengan segala kemungkinan yang akan terjadi di masa yang akan datang. Oleh karena itu Being dalam arti yang “baru” dapat dimaknasi sebagai sesuatu yang bertransisi menjadi uap air (evanescent vapor). Penggunaan bahasa harus dapat mengelaborasi makna ini kecuali akan menghilangkan makna Being yang sesungguhnya.***

(Sumber; Introduction to Metaphysics, Heidegger)

“Diri” Menurut Filsafat Stoik dan Neoplatonisme

Seseorang memiliki badan dan jiwa. Jiwa erat berhubungan dengan “batin”. Neoplatonisme mengakui bahwa “jiwa” (psukhe) dan “badan” (“tubuh”) adalah “dualitas”. Tubuh adalah kubur bagi jiwa dan jiwa yang berada di dalam tubuh seperti berada dalam penjara. Oleh karena itu Neoplaonisian menjelaskan (a) purifikasi jiwa lewat penjarakan dari sesuatu yang bersifat ragawi, (b) pengetahuan dan pelampauan dunia inderawi, dan (c) conversio ke intelek dan penyatuan dengan Yang Satu, Yang Total. Tahap-tahap tersebut hanya bisa di peroleh lewat askesis (latihan).

Jiwa adalah esensi murni yang mendapatkan penambahan yang tidak perlu sehingga diperlukan conversio ke yang esensial, jiwa perlu menyederhanakan diri. “Latihan mati” perlu dilakukan sebagai sebuah wacana teoritis (pengetahuan) dan praktik latihan untuk menyatu kembali dengan Yang Satu. Dan bagi Platon kesatuan ini “dipelajari” dari gurunya, Sokrates, yang berani mati demi sebuahh nilai. Ia memilih mati daripada mengingkari apa yang dia yakini sebagai tugas dalam hidupnya. “Belajar mati” adalah segala keinginan untuk hidup musti ditundukkan pada tuntutan yang lebih tinggi; pemikiran rasional. Kisah pemahat yang menghilangkan “ikatan-ikatan tubuh” perlu dilakukan untuk keutamaan yang jernih dan Ilahi. Jiwa menjadi tidak otonom karena tergantung pada tubuh dan melulu mengikuti perkembangan rasio. Jiwa terikat pada hasrat dan nafsu yang bersifat particular dan subyektif. Dengan “pahatan” diri maka sudut pandang manusia menjadi terbuka, otonom, bebas, untuk memeluk yang obyektif, universal, dan rasional. “Latihan mati” dapat diartikan menundukkan hasrat buta dan nafsu (epithuma dan thumos). Dengan upaya rasional, hidup manusia bisa diupayakan kepada Kebaikan lewat rasio, menjauhkan diri dari kebinatangan yang ada untuk mendekatkan kepada yang Ilahi, intelligible, dan kekal.

Kesadaran (consciousness) adalah pusat. Kesadaran menjadi garis pembatas antara kesunyian ketidak sadaran hidup dalam Tuhan dan ketidak sadaran hidup dalam tubuh. Seseorang tidak akan “menjadi” seperti “yang diharapkan” jika tidak sadar akan hal itu. Kesadaran dicapai dengan “memahami” akan gerakan kehidupan jiwa, yang menggerakkan hati, maka kehidupan jiwa akan memberikan “kesadaran”. Tubuh yang kehilangan kesadaran akan kehidupan jiwa adalah jiwa yang runtuh.

Bagi kaum Stoicisme Imperial, rasa kemerdekaan diri (autarkeia) diperoleh karena diriku selaras dengan kosmos besar yang mengelilingiku. Diriku meluas, menyatu dengan hokum kosmik; Rasio, Dike (Takdir, Hukum, Keniscayaan). Bagi mereka berfilsafat (menjadi bijak) adalah mencari jalan meraih kehidupan yang harmonis dengan kosmos. Terdapat dua ajaran kaum Stoik yaitu; wacana filosofis dan filsafat itu sendiri. Sebagai wacana filosofis, artinya sebagai jalan hidup, tentang fisika, dan logika. Hal ini adalah filsafat di tataran praktis kaum Stoik. Teori atau wacana filosofis adalah untuk membantu sebuah cara hidup filosofis. Mendiskusikan tesis-tesis filosofis tidak memiliki arti apapun untuk conversio. Lebih baik melakukan sesuatu, menghasilkan karya atas pencernaan terhadap tesis filosofis akan membuat hidup beralih dari yang tidak autentik menjadi autentik. Conversio tersebut akan membuat orang akan sadar dengan dirinya sendiri dan memiliki pandangan yang tepat tentang dunia, dan akhirnya mendapatkan kedamaian dan kebebasan batin. Cara hidup ini juga akan menampak pada terapi atas nafsu-nafsu. Filsafat memberikan batasan dengan jelas bahwa kebaikan dan kemalangan yang mau dicari atau dihindari tergantung sepenuhnya pada kebebasan manusia, tergantung pada jiwa manusia.

Biasanya kita member nilai kepada realitas dunia sesuai dengan nafsu-nafsu kita dengan mengikuti criteria subyektif manusiawi kita. Sekarang dengan cara pandang kaum Stoik, hal itu dipilah lagi karena ada yang tidak tergantung pada diri kita dan harus diletakkan di bawah criteria “peristiwa niscaya” yang sepenuhnya tergantung pada alam. Kemurnian sangat penting bagi kaum Stoik. “perhatian yang murni” (prosoche) diperoleh bila selalu sesuai dengan kehendak Logos universal (kosmis). Kewaspadaan menjadi kunci latihan batin. Kewaspadaan dan perhatian yang murni memberikan kesadaran akan “ketegangan batin” dalam diri manusia, yang ekmudian meluas, berkembang menjadi konflagrasi final dan dari kobaran Api (Logos) akan terbentuk semesta baru yang identik, “semua kembali secara abadi”.

Epiktetos (tokoh kaum Stoik) menunjukkan bahwa apa-apa yang tergantung pada diri kita adalah wilayah yang bisa kita tangani (proairesis, segala sesuatu yang muncul dari kehendak dan tindakan bebas kita). Gerakan diri (interioritas) bisa diikuti, dirasakan dan “dikendalikan”. Jiwa adalah pusat otonomi manusia. Dalam jiwa terdapat kendali (hegemonikon) yang mengatur gerakan interioritas. Hal-hal yang ekterior, asing dari yang paling inti tidak tergantung pada diri.

Askesis dilakukan sebagai upaya supaya hidup sesuai dengan Logos. Askesis dilakukan dengan mengelola hasrat terhadap sesuatu maupun menolak sesuatu (aversion). Askesis secara ageree contra atas hasrat dan dorongan bertindak dilakukan dengan untuk menolak dorongan dengan melakukan kebalikan. Selain itu dapat juga dilakukan secara positif, melakukan yang secara teoritis sudah diterima. Dengan demikian diri manusia bisa memilah hal mana yang bersifat ekterior dan interior. Namun askesis menurut kaum Stoik tidak sampai pada keterlibatan diri atas penderitaan orang lain. Askesis Stoik hanya membantu untuk indifferent di depan penderitaan, berbeda dengan sudut pandang creationist yang memberikan perspektif secara radikal; berbuat baik adalah wajib, berempati pada kaum papa adalah keharusan, karena ada Pencipta, dan bahkan Pencipta itu sendiri melakukan hal-hal itu untuk dicontoh ciptaanNya.***