Thursday, August 04, 2011

Tentang Keadilan



Pada saat kita mendengar kata “keadilan” seringkali kita secara langsung berfikir mengenai dua hal yaitu; mengenai hukum dan kesejajaran. Keadilan memiliki ketergantungan pada dua hal yaitu kepenuhan hukum dan kesejajaran. Maka “keadilan” kemudian adalah kepenuhan hukum dan adil, ketidak adilan adalah tidak ada hukum dan tidak adil. Dua makna ini menjadi penting dan saling berhubungan. Semua tindakan hukum harus memenuhi tindakan keadilan, demikian dinyatakan Aristoteles. Namun Pascal menyelidiki bahwa hukum itu sendiri bukanlah keadilan. Lalu keadilan manakah yang seharusnya? Apakah keadilan harus diwujudkan sebagai fairness? Apakah itu mungkin? Sementara hukum lebih mengutamakan prosedur dan milik pemegang otoritas. Dimanakah hukum yang fair dan mengandung kedua makna secara sejajar yaitu adil dan setara? Ulasan di bawah ini akan menjelaskan keadilan sebagai inti dari hukum, dimana keadilan menjadi dasar keutamaan untuk bertindak secara hukum.

Seperti seorang anak kecil yang masih senang bermain, seorang anak bisa mengatakan ada ketidak fair-an pada dirinya ketika dirinya memiliki sesuatu lebih sedikit daripada yang seharusnya. Dan ketika dirinya sedang bermain mungkin dirinya yang sedang memperjuangkan fairness dianggap melakukan kecurangan karena tidak mengabaikan peraturan permainan yang baik tertulis maupun tidak tertulis. Demikian pula dalam dunia orang dewasa, dalam konteks keadilan social, akan mengkritik terhadap kesejangan sosial yang dihadapinya. Sebaliknya kita bisa mengatakan seseorang sedang melakukan pelanggaran hukum atau tidak peduli tehadap kepentingan orang lain, ketika dirinya hanya membagi sebagian yang baik pada dirinya dan membagikan keseluruhan yang buruk padanya. Dalam hal ini keadilan seperti bergantung kepada dua hal sekaligus; hormat pada legalitas dan kesetaraan antar individual. Aristoteles menyatakan bahwa “Keadilan adalah kepenuhan hukum dan fairness, ketidakadilan adalah ketidak penuhan hukum dan tidak fair.” Keduanya saling berhubungan erat, keadilan mensyaratkan kesetaraan sebelumnya. Tidak ada perbedaan yang membedakannya. Pendapat iniberbeda dengan yang dinyatakan Pascal bahwa keadilan adalah yang ada dan diakui, sehingga semua hukum yang ada dan diakui penting untuk selalu dirujuk sebagai keadilan tanpa pengujian, karena dirinya ada dan diakui.

Hukum sebagai fakta legal (legalitas) lebih penting daripada hukum sebagai nilai (legitimasi). Maka menjadi tidak mungkin ada keadilan jika keputusan hukum tidak diwajibkan di letakkan pada hukum, termasuk klausul-klausul di dalamnya diatas, diatas moralitas yang berlaku. Tanpa legalitas tidak ada negara, dan tidak ada system legal, tidak ada aturan hukum. “Auctoritas, non veritas, facit legem.” Autoritas, bukan kebenaran, yang menentukan hukum . Hobbes sangat memegang kata-kata itu dan dirinya juga mengakui kebenaran demokrasi. Hukum dibuat oleh kaum mayoritas bukan oleh kaum cerdik cendekia. Judicial positivism (positivisme keadilan) sebagai doktrin. Lalu dimanakah keadilan itu berada?

Masih mengacu pada pernyataan Hobbes, kedaulatan menentukan segalanya, dan yang ditentukan kedaulatan adalah hukum melalui definisi yang dibuatnya. Pascal kemudian menyatakan kembali; “ Tidak ada keraguan bahwa kesamaan atas barang adalah keadilan”. Namun keadilan memutuskan yang berbeda; hukum memberikan perlindungan terhadap kepemilikan pribadi, praktek di dalam demokrasi modern tidak memiliki perbedaan pada saat kehidupan Pascal. Dan, pada saat itu terjadilah ketidak setaraan (inequality) dalam kepemilikan karenanya. Lalu ketika kesetaraan dan legalitas tidak saling sejajar dimanakah keadilan itu?

Di dalam filsafat kuno Yunani diskusi mengenai menjaga keharmonisan atas keseluruhan menjadi penting. Namun ketika disodorkan pertanyaan mengenai perlunya distribusi yang sama dan rata kepada semua orang, meskipun terdapat banyak perbedaan baik kendala personalnya maupun tanggungjawabnya, tema diskusinya menjadi berubah. Kaum filsuf banyak yang berbeda pandangan mengenai perlunya menjaga kesamaan secara identik pada ketidak samaan manusia, dan kebebasan terhadap kesetaraan. Keadilan memicu perselisihan, hal ini secara mudah dikenali dan tidak menimbulkan perselisihan. Mayoritas adalah jalan terbaik dalam perselisihan tersebut, karena mayoritas itu nampak (visible) dan memiliki kekuatan untuk dipatuhi.

Konsep Rousseau mengenai kehendak (kepentingan) umum berguna untuk menjelaskan hal ini, namun meragukan. Tidak ada jaminan bahwa kehendak umum selalu adil, sehingga kesahihannya tidak dapat tergantung pada ke-“adil”-an. Meskipun terdapat pembatasan pengertian bahwa keadilan adalah (terhadap) kehendak umum namun hal ini tidak memberikan jaminan apapun bahwa akan “adil”. Dan hal ini dapat dimaknai bahwa keadilan bukanlah fakta legal (legalitas) tetapi nilai atau norma kebajikan.

Hal kedua yang penting adalah moralitas yang lebih daripada moralitas di dalam hukum. Ketika hukum bertindak tidak adil, maka ketidak adilan itu melukai hukum. Socrates telah mengajarkan kecintaannya kepada hukum, dirinya memilih mati di dalam hukum. Hal ini menunjukkan bahwa Socrates menghindari kerumitan untuk menjelaskan relasi keadilan terhadap legalitas. Kepahlawanan Socrates didasarkan pada perdebatan prinsip dimana seseorang yg tidak berdosa dikorbankan kepada hukum meskipun dirinya telah melakukan tindakan kriminal. Hukum bukan dilakukan dengan dasar mengorbankan keadilan apalagi mengorbankan orang tidak berdosa. Hukum perlu dihormati dan dipatuhi serta dipertahankan. Moralitas dan keadilan hadir sebelum legalitas, setidaknya pada saat yang esensial perlu diperhatikan. Kebebasan bagi semua orang, jalan hidup masing-masing individu, dan hak-hak manusia adalah esensial. Hal inilah yang dijaga oleh hukum. Jika kepatuhan mempersyaratkan kita untuk mengharapkan keadilan atau toleran terhadap intoleransi, maka tidak akan ada negara republik maupun negara demokrasi. Namun tidak setiap ketidak adilan hukum harus tidak dipatuhi, hal ini tidak dapat diselesaikan sekaligus dan untuk keseluruhannya. Kadangkala hak untuk melakukan sesuatu harus dilakukan secara diam-diam dan dengan perjuangan. Namun kadang juga dapat dilakukan dengan kepatuhan atau ketidak patuhan secara diam-diam. Tentu saja hal ini akan lebih baik jika keadilan dan hukum itu “menyatu” dan kewajiban moral setiap warga negaranya adalah memperjuangkan tujuan utamanya. Keadilan bukan milik siapa-siapa, namun setiap dari kita memiliki kewajiban moral untuk mempertahankan keadilan. Keadilan tidak mungkin tampak dalam partai. Keadilan tidak ada di dalam institusi, keadilan hidup di dalam pribadi-pribadi. Bahkan untuk sebuah norma, keadilan tidak eksis di dalamnya. Keadilan hidup di dalam pribadi masyarakat.

Namun jika keadilan hidup di dalam pribadi-pribadi, lalu apakah hukum juga ada di dalamnya? Tentu saja tidak jika hukum muncul (tampak) sebagai sikap yang tidak adil. Hal ini termasuk juga tentang moralitas hukum, apakah seseorang menghidupi moralitas hukum? Kant justru mempertanyakan untuk apakah menghidupi moralitas hukum? Moralitas hukum itu eksis dan kita semua tahu tentang hal itu. Kita membutuhkan sedikit orang yang bertindak adil, karena dengannya mereka akan menderita. Kant misalnya berfikir bahwa dirinya akan lemah secara hukum, setidaknya dalam hal idea tentang keadilan, jika diterapkan hukuman mati bagi semua pembunuh. Ketidak sepahaman tentang hal ini penting untuk mengungkapkan esensi keadilan di dalamnya.

Hal ini juga berlaku dalam hal pengukuran hukuman. Hukum menjawab keseluruhannya, namun keadilan tidak. Hal ini mirip dengan tindakan mengajar bagi seorang guru mengenai siapakah yang akan diberikan penghargaan? Apakah yang memiliki kemampuan atau memiliki motivasi? Bagaimana standar dapat diterapkan? Seorang guru akan berusaha dengan terbaik menjawabnya. Bagi mereka yang menjawabnya, terutama yang tidak mengerti tentang keadilan akan memahami dan menimbang resiko dan ketidak pastian. Seperti ungkapan Pascal; “ Ada dua kategori manusia yaitu yang selalu benar yang selalu merasa berdosa dan yang merasa selalu berdosa dan selalu merasa yang benar”. Kita tidak tahu berada di mana di dalam kategori tersebut, jika kita tahu kita akan tahu bahwa kita sudah berada di salah satunya.

Seperti makna kata “equity” yang berasal dari kata "aequus", yang berarti setara yang bersinonim dengan keadilan jika berada di atas makna keadilan sebagai kesempurnaan. Ide kesetaraan direflekasikan dengan dua buah timbangan. Keadilan adalah harapan akan kebajikan dan membutuhkan saling setara dan saling jujur. Keadilan mirip dengan transaksi perdagangan, namun hanya jika seseorang yang menerapkannya mendapatkan manfaat dari tindakan yang saling adil.


PUSTAKA


Comte. A., terjemahan C. Temerson., A Small Treatise on the Great Virtues, A Metropolitan/Owl Book-Henry Holt and Company New York, 2001.