Tuesday, March 14, 2006

Penduduk Miskin dan Implikasi Kebijakan Kompensasi BBM

Seperti diberitakan dalam berbagai media massa secara berulang-ulang dalam minggu-minggu terakhir, cukup banyak media yang mengulas tentang upaya pemerintah dalam upaya memberikan kompensasi atas kenaikan harga BBM kepada 15,5 juta penduduk miskin atau sekitar 62juta manusia (dengan asumsi terdapat 4 anggota keluarga) di Indonesia. Kompensasi yang diberikan kepada masyarakat miskin di Indonesia menjadi sangat menarik perhatian, karena diberikan dalam bentuk cash money. Artinya, bagi subyek yang menerima dana kompensasi bebas untuk menggunakan dana ini untuk apapun, mulai yang bersifat basis seperti membeli kebutuhan pokok yang harganya naik karena kenaikan harga transportasi dan distribusi akibat kenaikan harga BBM, yang strategis untuk menambah modal produksi sehingga produktivitas usahanya tidak ikut turun statusnya, sampai dengan membeli togel dan semacamnya. Pilihan tersebut dikembalikan pada kemampuan pengalokasian sumberdaya yang dimiliki oleh rumah tangga miskin.
Total dana selama tiga bulan untuk satu rumah tangga miskin sebesar Rp 300.000/rumah tangga miskin. Pada putaran menghabiskan uang sebesar Rp 4,65 trilyun selama tiga bulan pertama (Oktober-Desember 2005). Sebagian besar diulas tentang efektifitas implementasi bantuan tersebut. Project Delivery Mechanism (mekanisme pelaksanaan proyek) menjadi fokus perhatian banyak pihak. Sejak penentuan indikator miskin, tata cara distribusi, sampai dengan mekanisme kontrol menjadi diskusi yang menghangat. Kelihatannya diskusi menghangat pada 3 (tiga) hal ini dalam delivery mechanism yakni tujuan tepat sasaran, efektifitas distribusi, dan mekanisme kontrol. Meskipun mekanisme kontrol dibicarakan, agaknya entitas bantuan tidak mendapat perhatian secara signifikan.
Dalam konteks pemberdayaan, pemberian dana kompensasi menjadi menarik sekali untuk dikaji. Pertama adalah tujuan dana kompensasi itu sendiri, apakah tujuan utama dibalik pemberian dana kompensasi ini? Apakah digunakan untuk mencegah penurunan status kesejahteraan rumah tangga di Indonesia? Apakah digunakan untuk meningkatkan produktivitas rumah tangga miskin sehingga akses terhadap produksi selalu konstan meskipun akan terjadi kendala biaya produksi karena kenaikan harga BBM?. Kedua, apakah uang yang diterima selama tiga bulan berturut-turut mulai bulan Oktober 2005 tersebut benar-benar akan “sampai” pada kepentingan tujuan utama pemberian dana kompensasi kepada rumah tangga miskin sesuai dengan jumlah yang dijanjikan? Apakah tetangga yang mempunyai pendapatan sedikit diatas batas atas indicator miskin tidak merasa dibedakan haknya? Apakah mereka benar-benar paham atas maksud dan tujuan tersebut? Dan apakah rumah tangga miskin mempunyai rencana yang “memadai” untuk survive di tengah gejolak inflasi yang segera datang itu? Ketiga, apakah dengan kompensasi BBM kondisi rakyat miskin itu menjadi berubah? Apakah dengan demikian, niscaya persoalan dasar rakyat Indonesia benar-benar selesai bahkan bisa mewujudkan efek pengganda ekonomi yang menggerakkan akses mereka pada sumber daya?

Karakter Penduduk Miskin dan Efek Kenaikan Harga BBM
Seperti telah diketahui, bahwa menurut BPS rumah tangga miskin yang akan menerima dana kompensasi BBM ini adalah penduduk sangat miskin, miskin, dan hampir miskin. Perbedaan ketiganya adalah konsumsi kalori dan ditambah dengan pengeluaran non pangan dalam satuan waktu tertentu (bulan atau hari). Jika dikalkulasi dalam rupiah rentang pendapatan mereka adalah kurang dari Rp 480.000/bulan sampai dengan Rp 700.000/bulan. Penduduk miskin di Indonesia sebagian besar adalah mereka yang hidupnya ditopang oleh sektor informal dan pertanian. Kedua sektor ini adalah sektor yang dilupakan. Salah satu bukti adalah niat impor beras sebanyak 250.000 ton pada akhir tahun ini, dimana stok di masyarakat tersedia sebanyak 1,6 juta ton plus 400.000 ton di petani, cukup untuk persediaan selama 9 bulan. Namun meski demikian situasinya, toh pemerintah hingga hari ini bersikukuh untuk terus melanjutkan rencananya. Dalam situasi demikian maka, insentif penduduk miskin yang bekerja di sektor pertanian menjadi berkurang karena kebijakan pemerintah. Di berbagai media di Indonesia menyatakan bahwa kabar impor itu saja sudah menurunkan harga beras di pasaran. Kebijakan ini jelas akan menurunkan pendapatan petani.
Ketika petani mengalami penurunan insentif setidaknya terdapat 3 (tiga) hal yang akan dilakukan. Pertama adalah hutang. Kedua adalah menjual asset. Konsekuensi dari pilihan ini adalah penyempitan lahan dan konversi lahan pertanian. Ketiga adalah pindah ke sektor non pertanian. Sektor non pertanian yang paling mungkin untuk dimasuki adalah sektor informal. Mekanisme demikian sebenarnya mekanisme yang terjadi karena dorongan struktural, bukan sebagai sebuah pilihan sadar petani. Oleh karena itu kemiskinan berantai yang terjadi bukan lagi kemiskinan potensial, namun kemiskinan karena struktural.
Di sektor informal sendiri, kapasitas produksi sangat ditentukan oleh kemampuan “si pengusaha” dalam memenuhi seluruh komponen produksi. Dalam kondisi demikian, maka surplus tenaga kerja (yang unskilled dan uneducated) karena penyempitan lahan, tidak akan secara otomatis menaikkan output produksi, sehingga insentif yang akan diperolehnya sangat ditentukan oleh faktor yang tidak dikuasai oleh pelaku usaha itu sendiri. Jika dikaitkan dengan tekanan inflasi yang akan terjadi karena kenaikan BBM seperti yang diprediksikan, secara kualitas kendala produksi sektor informal akan semakin berat. Kondisi ini jika berlarut-larut akan meningkatkan jumlah pengangguran secara signifikan.

Tingkat Kesejahteraan dan Dependensi Ekonomi
Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Sri Mulyani mengatakan bahwa tujuan dari pemberian dana kompensasi ini adalah untuk mempertahankan status rumah tangga miskin agar tidak semakin merosot. Artinya bahwa tingkat kesejahteraan mereka jika tidak merosot karena kenaikan BBM, lebih disebabkan oleh campur tangan pemerintah. Dari sisi komitmen politik, pemerintah telah menunjukkan komitmennya untuk memperhatikan rumah tangga miskin. Namun komitmen politik ini harus dibayar mahal jika tidak dicukupi sufficient condition-nya.
Secara ekonomi, kenaikan atau penurunan status kesejahteraan rumah tangga sangat tergantung pada keberdayaan ekonomi rumah tangga tersebut. Semakin berdaya sebuah rumah tangga secara ekonomi, maka semakin tinggilah status kesejahteraannya. Maka tingkat kesejahteraan rumah tangga sebenarnya berbasis produksi jika ingin sustain. Dalam konteks ini, kompensasi yang dibayar pemerintah tidak akan memberikan dampak apapun, bahkan jaminan agar tingkat kesejahteraan rumah tangga miskin tersebut tidak merosot sekalipun. Mengapa? Karena problema dasar yang dihadapi oleh keluarga miskin tidak di address oleh proyek ini, dan secara jelas cara pemerintah mempertahankan tingkat kesejahteraan adalah dengan menopang konsumsi bukan menaikkan tingkat produksinya.
Selain itu, tampaknya tidak terdapat sedikitpun pendidikan pengalokasian dana di tingkat rumah tangga dalam delivery mechanism-nya. Pemanfaat dari proyek ini mempunyai “hak prerogative” untuk mengalokasian dana kompensasi. Jika dikaitkan dengan momen keagamaan hingga akhir tahun 2005, dana ini agaknya sebagian besar akan lari untuk keperluan konsumsi. Aliran dana melalui rumah tangga miskin dan kenaikan inflasi karena kenaikan harga BBM plus hari raya akan mengarah kepada mereka yang kuat secara modal. Maka pada tahun 2006, sangat mungkin status kesejahteraan rumah tangga miskin justru akan turun. Dan ketimpangan akan sumberdaya akan semakin besar. Rumah tangga miskin hanya menjadi jalan untuk mengalirkan dana kepada mereka yang secara ekonomi lebih kuat, sekaligus menciptakan dependensi ekonomi, buah dari janji politik pemerintah.
Robert Chamber (1978) mengingatkan bahwa salah satu persoalan besar mengapa kemiskinan selalu ada adalah deprivations trap (perangkap kemiskinan). Perangkap kemiskinan muncul karena interaksi isolasi, ketidakberdayaan, kerawanan, kemiskinan dan kelemahan fisik. Oleh karena itu jika outsider akan melakukan intervensi pada persoalan ini, dia harus melakukan affirmative action, yaitu memberikan peluang disertai perlindungan yang memadai untuk akses terhadap sumber-sumber ekonomi. Jika program pemerintah diteruskan, dalam konteks ini, rumah tangga miskin seperti ”jatuh ke lubang yang sama” namun bukan karena dirinya, namun karena kebijakan yang pragmatis.
Pemberian kompensasi BBM sangat berpotensi sebagai jebakan bagi rumah tangga miskin, seperti permen yang diberikan kepada seorang anak agar tidak rewel karena orang tuanya tidak ingin terganggu. Permen hanya mengatasi rewel yang sesaat itu. Permen tidak merefleksikan solusi atas persoalan mengapa anak menjadi rewel. Dengan sikap ini, orang tua menciptakan masalah baru. Penyelesaian sesaat itu hanya berguna sebagai peredam, bukan solusi jangka panjang. Cara seperti ini hanya akan menciptakan dependensi yang akan menghancurkan bangunan pemberdayaan masyrakat yang sudah dirintis.

Pemberdayaan atau Pemerdayaan Ekonomi?
Semua orang sadar bahwa situasi saat ini sangat sulit. Semua orang pun merasakan bahwa kenaikan harga barang dan jasa secara keseluruhan alias inflasi akan menurunkan real income. Dalam situasi demikian, dengan campur tangan pemerintah, status kesejahteraan mereka akan merosot. Ini hanya persoalan waktu. Proyek ini jika tidak diikuti dengan kebijakan yang strategis yang meningkatkan akses terhadap sumber-sumber ekonomi, maka bisa di duga proyek ini adalah proyek pemerdayaan ekonomi rakyat. Pembangunan tanpa perubahan. Adalah sangat mustahil tingkat kesejahteraan dapat dicapai tanpa perbaikan kapasitas produksi. Ekonomi rakyat bukanlah persoalan “bagi-bagi jatah” (charity economic system) untuk rakyat. Maka jika tanpa kebijakan ikutan sebagai bentuk sufficient condition, proyek ini adalah ”tastenya” proyek politik daripada proyek pemberdayaan ekonomi. Proyek politik yang menempatkan rumah tangga miskin sebagai konsumen politik, bukan stakeholder politik pemerintah.
Secara jelas jika mengacu pada angka yang disajikan Bappenas setidaknya terdapat 62 juta dari 220 juta penduduk (sekitar hampir 30%) jumlah penduduk di Indonesia tidak akan kritis terhadap kenaikan harga BBM sehingga popularitas pemerintah bisa ditopang. Fakta ini bisa diperdebatkan, namun jelas sekali dengan tidak adanya muatan pendidikan kepada pemanfaat proyek ini, maka target jumlahlah yang dituju pemerintah, bukan kualitas.
Kebijakan strategis yang dimaksud sebenarnya cukup jelas. Salah satunya adalah fasilitasi rakyat miskin untuk mendapatkan sumber-sumber ekonomi baru seperti sarana produksi dan akses pasar. Secara spesifik, dengan membatalkan impor beras, petani akan merasakan haknya sebagai pengusaha. Di sektor informal, dengan memberikan perlindungan usaha dan akses terhadap modal kepada pelaku usaha sektor informal, pemerintah berarti mempersiapkan mereka untuk sebuah kepastian berusaha. Namun jika tidak diikuti dengan kebijakan strategis, maka proyek kompensasi BBM ini hanyalah proyek politik tanpa pendidikan yang cenderung menciptakan dependensi sekaligus memperdayakan ekonomi rakyat bawah. Kita tunggu saja tanggal mainnya, waktu yang akan memberikan fakta kepada publik, ada dimanakah posisi pemerintah ini; melindungi perekonomian rakyat bawah atau mematikannya?***

No comments: