Tuesday, January 04, 2011

"Why is there beings at all instead of nothing?"

Dalam buku “Introduction to Metaphysics”, Heidegger (1889-1976) memulai dengan pertanyaan yang selalu diulang-ulang yaitu “Why are there beings at all instead of nothing?”. “Why” (Mengapa) dapat diartikan mempertanyakan lebih dalam mengapa dari mengapa sebagai dasar (eksistensi) beings secara keseluruhan. Mengapa artinya juga mempertanyakan dari dasar (fundamen) apakah beings berasal. Dalam dasar apakah beings “berada” dan dalam dasar apakah beings akan terus ada. Namun pertnyaan tersebut tidak mempertanyakan tentang “beings” itu sendiri, namun apakah “beings” itu dalam berbagai adanya, disini dan disana, dan bagaimanakah hal itu diletakkan bersama, apakah dapat dipertukarkan, bagaimana penggunaannya, dan seterusnya. Pertanyaan ini juga mencari sebab dari beings, penyebab dari beings lainnya dan tingkatan beings itu sendiri. Maka pertanyaan tersebut adalah awal dari segala macam pertanyaan.

Dalam menjelaskan pertanyaan ini Heidegger memberikan pengandaian terhadap kepercayaan Kristen dimana pertanyaan ini tidak mudah untuk disejajarkan dengan ide penciptaan dimana Allah adalah the uncreated Creator. Pertanyaan ini mengadung pencarian dalam kehausan, mempertanyakan terus menerus dan tidak terbatas dengan waktu. Seperti filsafat adalah salah satu dari kemungkinan kreatif yang otonom dan kepentingan-kepentingan tertentu yang selalu muncul dalam kesejarahan Dasein. Filsafat juga memiliki dua misinterpretasi yaitu filsafat sabagai dasar budaya dan filosofi memberikan gambaran terhadap dunia. Namun filsafat sebagai yang luar biasa dapat bertanya tentang sesuatu yang luar biasa seperti yang dikatakan Nietzsche (VII, 269), “Seorang filsuf; adalah manusia yang secara konstan mengalami, melihat, mendengar, menggambarkan, menharapkan, memimpikan sesuatu yang luar biasa”.

“beings” dalam bahasa Yunani disebut phusis yang biasanya diterjemahkan sebagai alam (nature) dan dalam bahasa latin disebut natura yang artinya menjadi lahir. Phusis dimaknai sebagai emerging to sway (sesuatu yang nampak dan selalu bergerak). Kenampakan ini, keadaan yang selalu bergerak mengandung arti kemenjadian (becoming) sekaligus Being dalam arti sempit dalam kontinuitas yang tetap. Beings sebagai bagian dan keseluruhan adalah phusis yang memiliki esensi sendiri dan karakter yang Nampak dan selalu bergerak. Hal ini kemudian membawa pada sesuatu yang musti diterima makna phusis dalam arti yang lebih sempit; ta phusei onta, ta phusika secara alamiah. Ketika phusis dipertanyakan secara umum, bahwa dalam hal apakah beings itu, tidak dapat diartikan sebagai sesuatu yang tinggal dalam sesuatu namun di atas ta phusika. Dalam bahasa Yunani, diatas segala sesuatu yang nampak adalah metta. Pertanyaan filosofis tentang beings adalah metta ta phusika yang maknanya mempertanyakan sesuatu di atas beings. Sehingga makna phusis adalah Being dari beings. Meskipun doktrin Being sebagai actus purus (Thomas Aquinas) sebagai konsep absolut (Hegel), sebagai kebutuhan abadi untuk berkuasa (Nietzsche) metafisika tetap berarti fisika. Konsekuensinya terdapat perbedaan antara pertanyaan tentang Being (tentang being as such, meskipun dalam buku Being and Time sebenarnya mempertanyakan Being as such) dengan being as such. Oleh karena itu “introduction to metaphysics” berarti memulai untuk mempertanyakan secara fundamental seperti apa adanya.

Pertanyaan “Why are there beings at all instead of nothing” merupakan pertanyaan yang menyelidik. “Why are there beings at all” bermakna indikasi tertentu tentang sesuatu yang ada di dalamnya, yang diselidiki dan indikasi dari sesuatu yang diselidiki adalah yang diselidiki, yaitu beings. “Instead of nothing” bermakna pelengkap seperti yang ada di dalamnya. “nothing” (Das Nichts) adalah ketiadaan. Being atau Nothing adalah being. Nothing adalah pasangan das Sein. Being tidak berada dalam observasi beings. Being sebenarnya tidak tampak, seperti suara motor yang sebenarnya kita hanya mendengar “kebisingan” dan bukan suara itu sendiri. Lalu di manakah Being itu berada dan terdiri dari apa? Being seperti misteri. Being mirip dengan Nothing. Being berarti aktual, berwujud, nyata. Seperti yang dikatakan Nietzsche ketika disebut konsep tertinggi, Being adalah bisikan suara terakhir dari realitas penguapan (Twilight of the Idols VIII, 78). Pertanyaan berikutnya adalah apakah penyelidikan atas Being sebagai konsep yang universal mencapai esensi Being? Apakah ontologi dari Being? Pertanyaan ini dapat dijawab dengan menggunakan dua jenis ontologi “baru”, karena terdapat kegagalan ontologi tradisional dalam menjelaskan ketiadaan Being.

Dari pertanyaan kunci pada alinea awal di atas kita mendapatkan pertanyaan awal (Vor-frage); Bagaimana sesuatu berada di dalam Being? Jika being adalah kata yang berarti uap air apakah artinya “Being” berada di dalam “keharusan nasib” dari orang-orang Barat (Eropa)? Untuk menjawab pertanyaan ini diperlukan pertanyaan awal yang bergerak dari dasar sejalan dengan pertanyaan tentang kesejarahan. Ilmu sejarah menyelidiki sesuatu secara temporal, namun filsafat menyelidiki sesuatu supratemporal. Filsafat adalah kesejarahan jika seperti bekerja dalam spirit yang menunjukkan dirinya pada masa tertentu. Metafisika mempertanyakan sesuatu secara historis hanya dapat menunjukkan sesuatu yang jelas ada.relasi kesejarahan dari kesejarahan Dasein menuju sejarah dapat menjadi obyek dari pengetahuan dan pengembangan teori teori pengetahuan. Ilmu sejarah tidak pernah dapat “melembagakan” (instituted) relasi kesejarahan dari sejarah. Hanya dengan filsafat relasi esensial dengan beings secara tajam dan oleh karena itu relasi ini dapat dan harus menjadi kesejarahan asli dari Dasein. Sejarah tidak semata berarti apa yang ada di masa lalu, atau apa yang tidak terjadi lagi. Namun sejarah berarti sesuatu yang tidak pernah terjadi tetapi selalu “terlewati”, masuk dan keluar. Sejarah sebagai “yang terjadi” ditentukan dari masa depan, yang mengambil alih “yang sedang berjalan”, yang bertindak dan bertahan dalam jalannya disaat ini. Pertanyaan metafisis dari kesejarahan adalah membuka Dasein dalam relasinya yang esensial, tentang kemungkinan yang belum muncul, dan yang akan datang (Zu-kȕnften). Pada saat memaknai “dunia” pada frase “penggelapan” dunia, berarti dunia spiritual yang bermakna “penggembosan” spirit (kesalahan interpretasi dari “dunia” atau spirit).

Kesalahan dari interpretasi (pemaknaan) spirit salah satunya adalah spirit sebagai (1) kecerdasan (intelligence) mengorganisasi, berhitung, dan mengobservasi sesuatu. Kecerdasan hanyal kemiripan dengan spirit dan menutupi ketiadaan. Spirit yang dipalsukan sebagai (2) kecerdasan menyempitkan peran dari kemampuan melayani sesuatu yang lain yang dapat difikirkan dan dipelajari. Kesalahan (3) interpretasi instrumentalia yang di bangun atas spirit, keberadaan kekuatan spiritual dalam karya seni dan agama. Dan kesalahan terakhir adalah kesalahan interpretasi (4) spirit dalam bentuk yang mewakili kecerdasan untuk sebuah tujuan dengan sesuatu yang dapat diproduksi sebagai hasil budaya. Dalam hal ini sebenarnya spirit adalah pemberdayaan dari kekuatan spirit sebagai esensi yang sebenarnya sebagai “beings as such” dan secara keseluruhan.

Oleh karenanya kenyataan Being saat ini lebih dari sekedar kata. Being bermakna “perpindahan” uap. Ketiadaan dari kata “Being” bukan hanya “mematikan” penamaannya, namun juga bentuk kekerasan bahasa. Lebih dari sekedar merusakkan relasi Being as such sebagai fundamen yang paling dasar dalam keseluruhan relasi bahasa.

Heidegger pada bab pertama ini menekankan pada makna atas pertanyaan fundamen; Why are there beings at all instead of nothing?”. Pertanyaan ini dimaksudkan untuk menjelaskan secara lebih jelas dalam berbagai tinjauan atas eksistensi beings secara keseluruhan. Heidegger dalam hal ini menjelaskan pula bahwa pertanyan tersebut adalah pertanyaan pertama (yang utama) dari keseluruhan pertanyaan.

Filsafat memberikan dasar mengenai pertanyaan tentang “mengapa”. Heidegger juga menjelaskan mengenai “phusis” sebagai dasar being as such. Hal ini menjelaskan dalam terminology “phusis”, being as such harus dipahami dalam makna phusis secara sempit. Metafisika dalam hal ini mempertanyakan di atas being as such, oleh karenanya metafisika disebut sebagai pioneer dalam menjawab pertanyaan fundamental tersebut. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, Heidegger juga menggunakan pemisahan (pemenggalan) kalimat antara “Why are there beings at all” dan “instead of nothing”. Dengan mengulas makna “nothing” secara filosofis dan metafisis, Heidegger tampaknya memiripkan antara Being dan Nothing sebagai being. Artinya “ada” adalah mirip dengan “ketiadaan”. Sebagai sebuah fakta ontologism, “ada” juga harus dipahami sebagai “ketiadaan". Oleh karena itu untuk memahami Being secara ontologis harus dengan cara yang “baru” yang tidak tradisional.

Being dalam gambaran Nietzsche sebagai sesuatu yang ada sebagai uap air (vapor). Seperti dalam menyelidiki kesejarahan, filsafat menyelidiki sejarah sebagai sebuah fakta (faktisitas) manusia dengan segala kemungkinan yang akan terjadi di masa yang akan datang. Oleh karena itu Being dalam arti yang “baru” dapat dimaknasi sebagai sesuatu yang bertransisi menjadi uap air (evanescent vapor). Penggunaan bahasa harus dapat mengelaborasi makna ini kecuali akan menghilangkan makna Being yang sesungguhnya.***

(Sumber; Introduction to Metaphysics, Heidegger)

No comments: