Thursday, August 23, 2012

Atheisme Sartre; Eksistensi Mendahului Esensi




Jean Paul Satre (1905-1980), lahir dari pasangan Anne Marrie Schweitzer dan Jean Paul Baptiste Sartre. Ayahnya Jean Paul Baptise Sartre meninggal ketika dirinya masih kecil. Ia tinggal bersama kakeknya; Charles Schweitzer. Sartre sempat mengajar di Perancis. Pada tahun 1939-1940 dirinya menjadi tentara dan kemudian sempat menjadi tawanan perang. Sartre menjadi terkenal setelah Perang Dunia kedua.

Sartre hidup tanpa pernikahan yang sah dengan Simone de Beauvoir, adik kelasnya sekaligus pesaingnya dalam ujian filsafat sewaktu sekolah di Sekolah Elit (École Normale Supérieure) Filsafat di Perancis. Sartre akhirnya berpacaran dengan Simone de Beauvoir. Hubungan keduanya menjadi terbuka ketika kematian Sartre, dengan ditandai oleh terbitnya kumpulan Surat Cinta Sartre, dan diterbitkan sendiri oleh Simone de Beauvoir. Simone kemudian menerbitkan surat cintanya kepada Sartre termasuk surat-surat pribadi Sartre pada masa perang. Setelah penerbitan ini, Bianca Lamblin menuliskan pengalamannya dalam “tragedi” percintaan segitiganya dengan Sartre dan Simone. Bianca Lamblin adalah murid Sartre di kelas filsafat, yang kemudian “diumpankan” kepada Sartre oleh Simone.

Pemikiran Sartre tentang eksistensialisme ditandai dengan karya-karya utamanya pada yaitu L’Etre et le Néant, essai d’Ontologie Phénomenoloique (“Keberadaan dan Ketiadaan, Esai tentang Ontologi Fenomenologis”) dan tiga tahun kemudian Sartre menerbitkan L’Existentialisme est un humanisme (“Eksistensialisme adalah Humanisme”). Filsafat eksistensialisme Sartre mulai muncul ketika Sartre merasa kebahagiaannya “terenggut” saat kakeknya membawanya ke tukang pangkas rambut dan dirinya saat itu menemukan bahwa dirinya jelek, dengan mata juling dan perawakan mirip kodok. 

Sejarah masa kecilnya ini terkait erat dengan konsep filsafat Sartre mengenai l’autre (“yang lain”). Yang lain melalui “tatapan mata” (le regard) membuat dirinya menderita, sehingga orang lain adalah neraka. Melalui pengalaman hidupnya ini Sartre ingin mengemukakan bahwa “jelek” itu ada akibat relasinya dengan orang lain (pour-autrui; yang lain). Artinya “keburukan” itu ada karena yang lain. Demikian pula sebaliknya, ketampanan itu ada karena yang lain. Adanya yang lain ini “dianggap” sebagai sumber kejatuhan dirinya. Baginya tampan atau jelek tidak begitu penting, karena “yang lain”, maka “yang lain” perlu dihilangkan.

Pokok Penting Filsafat Sartre 

Filsafat Sartre pada intinya adalah menjelaskan relasi antar manusia, relasi manusia satu dengan manusia lain. Di dalam relasinya, kesadaran manusia terlibat. Kesadaran dalam berelasi bertemu dengan kesadaran lain. Relasi kesadaran satu dengan kesadaran lain ditandai dengan relasi subyek-obyek. Seseorang dapat mengobyekkan yang lain dan yang lain dapat melakukan sebaliknya. Relasi ini terjadi karena “menidak”, yaitu seseorang berelasi karena kesubyektifannya sendiri. Dirinya dapat menidak yang lain. Menidak adalah tanggapan kesadaran subyek terhadap yang lain. Kesadaran dapat menidak yang lain. Yang lain dapat menidak subyek. Dengan demikian relasinya menjadi dialektika. Dalam dialektika itu seseorang berusaha menidak yang lain dan yang lain menidak seseorang. Ketika seseorang ada tanpa orang lain maka dirinya tidak dapat mengobyekkan dirinya sendiri, pengobyekan hanya ada ketika bersama orang lain. Ketika bersama orang lain kemungkinan yang terjadi adalah konflik karena yang satu menidak yang lain dan sebaliknya. Masalahnya ketika ditidaki yang lain maka kebebasan diri subyek akan terancam. Setiap kesadaran selalu dalam situasi konflik potensial dengan kesadaran lain.

Sartre memberikan kritik kepada Hegel (1770-1831) bahwa roh absolut menentukan sejarah manusia, bahwa sejarah menentukan kehidupan manusia. Bagi Sartre “man makes himself”, bahwa manusia memberikan makna kepada sejarah. Manusia memiliki keunikan sendiri serta memiliki daya yang absolut yaitu kebebasan yang absolut. Kesadaran manusia memiliki kebebasan untuk memilih, dan dengan kebebasannya manusia dapat bertanggungjawab pada dirinya sendiri.

Filsafat eksistensialis Sartre berkembang dari filsafat fenomenologi Husserl (1859-1938). Dirinya mempelajari filsafat Husserl, dan dirinya menulis cerita pendek, novel, dan karya lainnya yang memodifikasi metode fenomenologi Husserl. Sartre juga menolak reduksi (epoche) Heidegger. Sartre berpendapat bahwa fenomenologi tidak hanya dapat mengeksaminasi kesadaran namun hal itu adalah keharusan, yang pada saat tertentu kesadaran harus mengeksaminasi dunia riil . Tidak ada diri yang berada pada pusat kesadaran, diri dan kesadaran adalah dua hal yang berbeda. Hal ini berbeda dengan filsafat fenomenologi Husserl, bahwa dalam relasi subyek-obyek, kesadaran subyek yang selalu terarah kepada obyek berperanan dalam memahami obyek, sehingga kesadaran dalam fenomenologi Husserl selalu sebagai kesadaran akan sesuatu. Relasi yang terus menerus subyek terhadap pengalaman memberikan intensi tertentu akan obyek. Fenomenologi Husserl merupakan kritik terhadap rasionalisme modern dimana subyek “ditinggalkan” karena keinginan mendapatkan obyek yang sesungguhnya, seperti apa adanya.

Kesadaran dalam diri ada dua yaitu (1) reflektif dan (2) pra-reflektif. Sartre memberikan ilustrasi ketika kita mengejar mobil di jalan, maka perhatian kita bukan pada diri kita namun pada mobil yang kita kejar. Ketidaksadaran akan diri saat mengejar mobil tersebut adalah kesadaran pra-relektif. Pada saat kemudian ketika diri disadari sedang mengejar mobil, maka kesadaran reflektifnya muncul. Oleh karena itu pada pada kesadaran pra-reflektif, tidak mungkin diri itu menanggapi pengalaman.

Diri, tidak ditemukan dalam kesadaran namun dalam relasi dengan dunia seperti diri dalam yang lain. Transendensi ego berarti ego yang tidak pernah diberikan dalam kesadaran, namun seperti diri dalam yang lain. Kesadaran hanya dapat dicapai dalam dirinya sendiri dari relasi dengan yang lain.

Secara ontologis, Sartre membagi fenomenologi menjadi dua bentuk (form) Being, yang disebut “for itself” (êntre pour-soi; bagi dirinya sendiri) dan “in itself” (êntre en-soi; dalam dirinya sendiri). Ada bagi dirinya sendiri artinya adalah yang ada dalam dirinya sendiri. Ada dalam dirinya sendiri seperti benda-benda, yang memiliki ada pada dirinya sendiri. Seperti batu dan pohon, adanya akan tetap (ajeg) tidak berubah kecuali ada perubahan yang diberikan di luar dirinya, karena sebab-sebab yang sudah ditentukan. Seperti pohon yang tumbuh menjadi tinggi dan besar, semuanya sudah ditentukan. Maka bagi Sartre segala yang “ada dalam dirinya” menjadi tampak memuakkan (nauséant). Seperti pohon yang tumbuh akan tampak memuakkan, kecuali jika kita menerima manfaat atas pohon tersebut misalnya memanfaatkannya untuk berteduh.

Tidak ada alasan mengapa batu, meja dan kursi itu ada, ada begitu saja. Benda-benda tersebut tidak memiliki hubungan dengan keberadaannya, sehingga sebuah meja tidak bisa dituntut tanggungjawabnya atas fakta mengapa dirinya adalah meja. Hal ini berbeda dengan manusia yang tidak tergantung, tidak lengkap, kosong, dan kemungkinan akan selalu berubah, karena manusia selalu membuat dirinya menjadi mungkin. Manusia selalu ingin dan harus menjadi seperti yang dipilih dan diputuskannya. Filsafat Sartre menjelaskan bahwa kesadaran akan beings selalu tergantung atas sesuatu yang di luar dirinya . Oleh karenanya manusia ada bagi dirinya. Manusia bukanlah obyek, dan manusia tanpa realitas. Oleh karena itu manusia mempertahankan dirinya dengan meniadakan yang lain. Maka jika benda-benda adalah en-soi yang ada dalam dirinya sendiri (thingness) maka manusia adalah êntre pour-soi, no-thingness.

Ada yang begitu saja ada dalam dirinya, identik dengan dirinya dan tidak tergantung kesadaran (it is what it is). Sedangkan ada bagi dirinya adalah ada yang yang tergantung pada kesadaran. Ontologi fenomenologi Sartre mengajak untuk berfikir di antara realisme dan idealisme, dalam relasi antara kesadaran dengan dunia tanpa jatuh ke dalam idealisme.

Eksistensi Mendahului Esensi 

Kebebasan manusia bagi Sartre adalah tidak adanya Tuhan. Jika Tuhan ada maka Tuhan akan membatasi kebebasan manusia. Bagi Sartre, karena manusia itu bebas maka Tuhan tidak boleh ada . Bagi Sartre Tuhan adalah esensi, manusia adalah eksistensi, maka eksistensi mendahului esensi. Manusia ada dan “terlibat” dalam dunia baru kemudian mendefinisikan dirinya.

Sartre pada masa kecilnya mendapatkan gambaran mengenai Tuhan dari keluarganya. Tuhan dalam gambaran diri Sartre adalah polisi yang mahatahu dan mahabesar. Tuhan digambarkan sebagai “yang menakutkan” dan selalu mengawasi tindak tanduknya. Ketika dirinya melakukan kesalahan tatapan mata Tuhan (le regard) menjadi ancaman bagi dirinya. Segala suara seperti langkah kaki, suara pintu yang berdecit, suara gerakan seakan menjadi “tatapan” mata Tuhan yang selalu mengawasi. Tatapan Tuhan menjadi ancaman. Hingga pada suatu ketika ketika dirinya berusia 12 tahun, Sartre mengatakan dengan terperanjat bahwa Tuhan tidak eksis, kemudian dirinya mengganggap perkara yang dihadapinya sudah selesai.

Bagi Sartre, jika Tuhan ada, maka Ia adalah kesatuan antara êntre en-soi dan êntre pour soi, kesatuan antara ada dalam dirinya dan ada bagi dirinya. Namun hal ini tidak mungkin karena Tuhan berarti kontradiksi yang tidak mungkin dipertemukan. Sifat-sifat Tuhan yang ajeg (tidak berubah) akan bertentangan dengan ciri êntre pour-soi yaitu kebebasannya. Yang jelas, jika Tuhan ada sangatlah tidak mungkin pada saat yang sama Dirinya menegasi keberadaannya.

Seperti halnya Heidegger, Sartre setuju bahwa manusia berada dalam faktisitas situasi yang tidak dikehendakinya. Situasi ini membuat manusia terbatas terhadap pilihan-pilihannya. Sartre berpendapat bahwa keterbatasan ini disebabkan karena kehidupan manusia sebelumnya. Meskipun keterbatasan ada, namun memang keterbatasan itu adalah buatan manusia. Oleh karena manusia memiliki kehendak untuk memilih, dan memiliki alternatif untuk dipilih, maka hal ini akan membatasi kehidupan manusia berikutnya. Oleh karena itu Sartre menolak bahwa benda-benda menekan manusia untuk melakukan sesuatu. Kesadaran yang bersifat spontan tersebut kemudian menjadi keunikan dari manusia. Dalam kondisi seperti ini kesadaran manusia menjadi kekuatan untuk melampaui segala sesuatu yang meng-obyek-an dirinya. Kesadaran dapat menegasikan benda-benda atau obyek di luar subyek. Maka dalam faktisitas, tergantung dari manusia itu sendiri dalam mengisi keadaan dengan kebebasannya karena kebebasan manusia adalah total dan radikal. Sifat kebebasan yang total dan radikal tidak mungkin direalisasikan jika Tuhan ada. Dengan adanya Tuhan, semuanya sudah ditentukan. Lalu bagaimanakah dengan tujuan hidup manusia tanpa Tuhan? Tujuan hidup manusia tanpa Tuhan adalah dengan merealisasikan kemungkinan-kemungkinan yang ada padanya dengan mendasarkan diri pada kebebasannya. Manusia “terlempar” dalam kebebasannya. Oleh karena itu dengan kebebasan yang dimilikinya manusia dapat memproyeksikan diri. Manusia ingin berada pada dirinya sendiri dengan menolak ada baginya sendiri. Ketika manusia berada dalam dikotomi ini, manusia merasakan tanpa makna, kosong, dan absurd.

Tanggapan dan Refleksi 

Argumentasi filsafat Sartre mengenai adanya Tuhan tampaknya lebih dikarenakan gambaran mengenai Tuhan sebagai penjaga keamanan pasar swalayan. Dengan tatapan matanya, sang penjaga keamanan akan mengamati semua gerak gerik pengunjung. Tatapan mata ini tidak terbatas pada pengunjung yang diduga akan mencuri (berbuat salah) namun juga kepada mereka yang berpotensi berbuat salah. Kondisi ini mencemaskan pengunjung. Pengawasan ini bagi pengunjung akan membuat dirinya menjadi sangat sensitif. Segala bunyi yang mencurigakan, gerak gerik yang mengamati menjadi memiliki efek yang sama dengan tatapan mata yang intimidatif. Apakah Tuhan memang demikian? Bagaimana dengan ke-Mahapengasih-anNya? Apakah kasihnya justru menjadi tatapan yang mengintimidasi juga? Ateisme Sartre justru dapat menjadi masukan bagi kaum beriman dalam pendidikan iman kepada umatnya.

Kedua, filsafat Sartre justru menegaskan bahwa kebebasan manusia bersifat radikal dan absolut, dengan menegasikan yang lain. Lalu bagaimanakah hidup antar manusia menjadi mungkin untuk berdampingan jika semua orang menganggap yang lain sebagai neraka? Sementara yang lain juga akan menegasikan yang satunya dan yang satu akan menegasi yang lain?

Ketiga, jika Tuhan ada maka manusia tidak akan bebas. Sartre jelas kelihatan menempatkan Tuhan sebagai determinan. Namun jika Tuhan adalah Mahakasih bukankah tatapan matanya adalah bagian perhatian yang diberikanNya pada manusia?. Demikian pula dengan manusia, tatapan mata bukan hanya berperan mengawasi, tatapan mata dapat berarti empati. Tatapan mata akan memiliki banyak makna yang tidak melulu bermakna mengobyekkan. Kebebasan eksistensialisme dalam filsafat Sartre memberikan implikasi kesepian. Jika Tuhan tidak ada dan orang lain mengancam, kekosongan dalam dirinya tidak hanya dingin dan beku namun juga terasa sebagai kesendirian yang senyap seperti nisan pada makam Sartre dengan tulisan; “L'enfer, c'est les autres” (“Neraka adalah Orang Lain”).***   


Daftar Pustaka 

Hadiwijoyo, Harun, 1980. Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Percetakan Kanisius, Yogyakarta.
Magnis Suseno, Franz., 2000. 12 Tokoh Etika Abad ke-20, Percetakan Kanisius, Yogyakarta
Magnis Suseno, Franz., 2006. Menalar Tuhan, Percetakan Kanisius, Yogyakarta Sastrapratedja,.M. 2010.
Filsafat Manusia. Pusat Kajian Filsafat dan Pancasila-STF Driyarkara, Jakarta. Schroeder, William. R., 2005. Continental Philosophy; A Critical Approach, 1st publishing, Blackwell Publishing Ltd, UK. 
Solomon.C. Robert., 1988. Continental Philosophy Since 1750; The Rise and Fall of The Self, Oxford University Press.
West, David., 1996. An Introduction to Continental Philosophy, Polity Press, Cambrige UK.
Wibowo, A. Setyo, 2011. Filsafat Eksistensialisme Jean Paul Sartre, Percetakan Kanisius, Yogyakarta

No comments: