Monday, January 17, 2011

In Memoriam Mas Tanto (EM. Edy Suharmanto); "Yang Kritis" dalam Pribadi "Yang Berkritis"


Jumat 14 Januari 2011, jam 18:35 seorang sahabat mengirimkan berita; “Tanto sudah menyempurnakan hidupnya tadi jam 17:30”. Mas Tanto (1964-2011), begitu saya menyebut, akhirnya menyelesaikannya juga. Tiga hari terakhir, begitu saya mengetahui Mas Tanto dirawat di ICU RS. Panti Rapih, selalu terngiang ditelinga saya dia berucap, “Jangan Menyerah Mas”. Saya tidak tahu makna kata-kata itu, sampai kata-kata itu hilang saat saya mendekapkan tangan ke tangannya di dalam peti yang sempit itu. Pada kesempatan yang terakhir saya hanya bisa berdoa di depan peti jenazahnya. Namun doa saya sebenarnya adalah “berbincang” dengannya, “Apa maksud kata Jangan Menyerah itu Mas?”. Sambil saya tatap wajahnya yang beristirahat. Wajahnya bukan wajah tidur. Kesan yang muncul di kepala saya adalah berfikir dalam istirahat. Wajah itu tidak berubah. Wajah yang sangat serius, penuh dengan empati terhadap lawan bicaranya. Terasa dekapan tangannya ketika saat berjabatan tangan dengannya, yang sungguh-sungguh. Mas Tanto tidak pernah berjabat tangan dengan setengah telapak tangan atau tangan asal menempel, selalu didekap bahkan dengan dua tangannya sambil menatap wajah lawannya. Saya tidak merasakan kesan kematian yang mengakhiri perziarahan “dirinya” dalam jenazahnya.


Apakah substansi (ousiai) Mas Tanto?, begitu pertanyaan saya sepanjang hari itu. Guna menjawab pertanyaan ini saya meminjam jawaban Aristoteles atas Platon (“Plato”, dalam artikulasi sebagai Platon dalam bahasa Belanda) gurunya, Mas Tanto adalah hal-hal yang mendasari (hupokeimenon) karena ia ‘berada di bawah’ berbagai hal universal yang termanifestasi dalam dirinya (the ultimate subject of predication). Seperti yang terjadi tiga hari yang lalu, doa saya untuk tiga hari peringatan meninggalnya Mas Tanto saya wujudkan dalam monolog pembacaan saya atas dirinya yang kini, sudah bebas dari belenggu (penjara) tubuh inderawinya.


Kehidupan Bagi Mas Tanto adalah Petualangan Batin (Askesis)

Bagi dirinya kematian adalah pembebasan jiwa atas penjara tubuh, karena kehidupan adalah latihan jiwa (askesis) untuk memurnikannya. Askesis dilakukan dengan mengelola hasrat terhadap sesuatu maupun menolak sesuatu (aversion). Askesis secara ageree contra atas hasrat dan dorongan bertindak dilakukan dengan untuk menolak dorongan dengan melakukan kebalikan. Namun askesis yang dilakukan Mas Tanto berbeda dengan kaum Stoik yang tidak sampai pada keterlibatan diri atas penderitaan orang lain. Askesis Stoik hanya membantu untuk indifferent di depan penderitaan yang lain.

Aksesis Mas Tanto mirip dengan kaum creationist yang memberikan perspektif secara radikal; berbuat baik adalah wajib, berempati pada kaum papa adalah keharusan, karena ada Pencipta, dan bahkan Pencipta itu sendiri melakukan hal-hal itu untuk dicontoh ciptaanNya. Maka sungguh tindakan yang absurd apabila dalam kejatuhan ada manusia yang mengatakan sedang “dicobai” oleh Penciptanya. Sungguh apabila kejatuhan manusia itu karena dicobai oleh Penciptanya, maka menurut askesis yang dilakukan Mas Tanto, Pencipta itu pasti lemah. Ketika Dia jatuh, maka eksistensiNya sebagai “yang tunggal” gugur. Dengan demikian ia tidak percaya terhadap absurditas itu. Ketidak percayaannya adalah konsekuensi rasional atas keyakinannya. Setidaknya itulah yang tercermin atas pilihan-pilihan tindakan yang dilakukannya, menghasrati kehidupan batin dengan bermati raga. Rumah untuk kambingnya jauh lebih “mewah” daripada rumah tinggalnya.


Dunia selalu dikritik oleh Mas Tanto. Dunia dalam perkembangannya semakin tidak memberikan nilai pada kehidupan. Dunia yang selalu di kritik itu seakan menjadi unheimlich (tidak hospitable lagi) bagi dirinya dan manusia. Dalam konteks pertanian, seperti dalam kesaksian yang diberikan saat Misa Requiem, Mas Tanto menyatakan bahwa pertanian saat ini adalah agrisida, pertanian racun (membunuh) yang membasmi umat manusia demi kapital.


Kata-kata bagi Mas Tanto adalah refleksi atas kesatuan keseluruhan atas kehendak, pemikiran, dan tindakan. Tidak ada kehendak dan tindakan yang lahir bukan dari sebuah ide. Maka bagi dirinya tidak ada tindakan tanpa nilai. Ide seperti yang pada pemikiran jaman pra sokratik, ide digambarkan oleh Platon dalam alegori gua yang terkenal itu. Ide adalah intelegible, sempurna, diatas dari keinderawian yang tampak dan secara instan dapat dinikmati. Mas Tanto merawat ide itu setiap harinya. Perawatan itu tampak dalam setiap pertemuan pribadinya dengan siapapun. Tujuannya satu, melawan absurditas berfikir yang menyerahkan semuanya pada mainstream yang berdaya bunuh itu.


Jiwa (psykê) adalah immortal begitu kata Platon. Imortalitas jiwa merujuk pada yang tunggal, yang menggerakan keseluruhan “gerakan”. Yang tunggal sebagai the unmoved mover atau the prime mover pada filsafat pra sokratik. Meskipun ia menggeluti pemikiran Nietzche (1844-1900) pemikirannya tidak terperangkap dalam pikiran Allah mati secara harafiah. Kematian akan Tuhan dipahami sebagai perasaan terisolir, yaitu ketika nilai-nilai yang datang dari luar tidak dapat dipercaya. Seperti etikanya Immanuel Kant (1742-1804) yang menolak Allah sebagai obyek dalam filsafat skolastik Thomas Aquinas, ide atas etika Kant menempatkan Allah sebagai rujukan dan bukan pengetahuan. Maka tidak heran bila, dalam pandangan etisnya, doa menjadi absurd apabila dilakukan sebagai bagian dari pengetahuan bukan sebagai proses askesis, latihan batin untuk memurnikan jiwa. (Ritual) doa bagi Mas Tanto adalah wujud kemalasan untuk bertindak (bergerak), dan juga bukan atas kepatuhan kepada hukum dan Allah.

Pertanian sebagai Pilihan Etis Atas Pemihakan


Semenjak lulus kuliah dan kemudian “berpetualang”, Mas Tanto bertani organik. Bertani organik ini sebenarnya adalah keharusan substansi. Pertanian organik secara harafiah berkaitan erat dengan kehidupan semua makhluk. Kata “organik” itu sendiri sarat makna interaksi kehidupan. Konsep dasar bertani adalah mengelola transaksi energi. Transaksi energi berarti menerima dan membagi energi. Jika ada pertanian anorganik, maka itu bukan pertanian. “Jika tanah tidak bisa disebut makhluk, maka tanaman adalah makhluk yang paling mulia, karena dia memberikan keseluruhan hidupnya bagi makhluk lain”, demikian kata Mas Tanto pada suatu ketika.


Keseluruhan, totalitas tanaman inilah yang diam dalam diri Mas Tanto. Pertanian adalah keseluruhan hidupnya. Oleh karenanya keseluruhan dirinya diberikan untuk menciptakan interaksi yang mati akibat dominasi politik pangan di sektor pertanian. Interaksi bukan hadir dalam keseragaman. Keseragaman tidak menciptakan interaksi. Mengapa? Karena kebutuhan interaksi muncul karena perbedaan energi, karena “titah” (physis dalam filsafat Aristoteles) akan energi setiap makhluk berbeda.


Yang berlebih memberi, dan yang membutuhkan akan menerima, demikian energi itu mengalir dalam keseimbangan semesta. Dan itulah “teleologi” yang seharusnya berjalan. Dunia mempunyai tujuan yang berfungsi sedemikian rupa, sehingga perkembangan dunia sama sekali tergantung pada tujuan. Hal ini berarti setiap makhluk akan bergerak secara alamiah, dari potesi menuju actus, untuk merealisasikan “titahnya”. Hal ini bukan suatu kebetulan, karena gerakan semesta dalam perjalanan mencapai tujuannya (“telos” dalam kata teleologi). Oleh karenanya alam semesta bergerak dalam harmoninya dengan perbedaan titah yang dimilikinya. “Alam bertindak sebagai seorang tuan rumah yang baik, karena tidak membuang apapun yang dapat digunakan lagi”, demikian pernyataan Aristoteles dalam bukunya De generatione animalium. Alam tidak membuat sesuatupun dengan sia-sia saja dan tidak membuat sesuatu (secara) berkelebihan (Aristoteles dalam De Caelo). Itulah rasional atas Hukum Kekekalan Energi (yang kemudian disebut Hukum Thermoninamika I).


Harmoni gerakan alam dalam keseimbangan menuju tujuan. Keseimbangan yang lahir bukan karena kesamaan namun atas dasar perbedaan. Itulah yang dirawat Mas Tanto hingga akhir hidupnya. Mas Tanto merawat perbedaan agar setiap makhluk mengaktualisasi diri atas potensinya, bergerak dalam transaksi energi untuk mencapai eudaimonia (kebahagiaan) semua makhluk. Tanpa perbedaan gerakan tidak pernah ada. Dan konsep inilah yang disebut “kesejatian” atau “keutamaan” (arête) dalam filsafat Aristoteles. Hanya pemikiran yang disertai keutamaan dapat membuat manusia menjadi bahagia. Pertanian bukan semata persoalan bercocok tanam.


Kegiatan Mas Tanto dalam pertanian bukan tiba-tiba. Nama Tanto (de) Hobo adalah bagian “buah” petualangannya di Sumatera Utara sebelum tinggal bergelut dalam realitas bertani di Yogyakarta. Dalam sharingnya, Mas Tanto banyak diberikan “warna” filsafat bertani ketika singgah di Candi Dasa-Bali bersama (alm) Ibu Gedong Bagoes Oka. “Yang makan adalah hak bagi yang bekerja”, begitu katanya pada suatu ketika. Mengapa? Karena lapar adalah konsekuensi atas kebutuhan energi. Energi secara etis harus diperoleh melalui gerakan, karena energi terlepas karena gerakan.


Pertentangan adalah Abadi

Tidak jarang orang begitu kenal pertama dengan Mas Tanto memberikan kesan, “Mas Tanto serem”. Bahkan ketika kami fasilitasi kepada kelompok tani di Muntilan pada akhir tahun 90-an, para petani “takut”. “Saya selalu (merasa) salah”, begitu kesaksian rekan kadang tani. Perasaaan yang sama pun terjadi tidak hanya pada mereka, di tingkat pendampingnya pun merasakan yang sama. Maka tidak jarang, mereka (pendamping) pun merasa “layak” jadi peserta daripada fasilitator. Mas Tanto sering mengajukan pertanyaan yang tidak pernah diduga, mengagetkan. Pilihan katanya spesifik. Seringkali Mas Tanto menggunakan istilah yang tidak memiliki makna yang sama dengan yang dipahami umum. Kata ini baginya adalah makna reflektis atas pengalaman dan penghayatannya atas ide intelegible yang digelutinya.

“Mas Koko, saya fikir saat ini urgent untuk digagas rintisan Universitas Hidup Sewajarnya dengan satu fakultas dulu yaitu Fakultas Hidup Semestinya”, begitu suatu ketika Mas Tanto mengawali diskusi saat saya bertandang di rumahnya waktu malam sambil minum markisa dengan air panas. Saya terhenyak, betapa kita sudah kehilangan kata-kata, betapa kita sudah kehilangan jejak makna atas kata-kata. Ide Mas Tanto atas sekolah itu seakan membongkar kata-kata mati yang sudah kehilangan entitasnya. Mas Tanto tidak menggunakan kata-kata yang “ndakik ndakik” (mewah berkata dan kehilangan makna). Seperti ketika dirinya ketika memberikan nama atas padinya yang diperoleh dengan “mengambil” beberapa bulir padi bertiga hingga terkumpul sekitar satu sendok makan lalu disemai menjadi padi Tri Pandung Sari (Tiga Pencuri Yang Mulia).

Pencuri yang mulia, sungguh menjadi susah memahami ungkapan ini untuk diterima dengan landasan moral manapun. Tidak ada pencuri yang mulia, karena dengan mencuri kemuliaannya akan musnah. Melanggar sekaligus menegakkan. De-konstruksi sekaligus re-konstruksi.

“Pertentangan” ini selalu hidup dalam diri Mas Tanto. Seolah Mas Tanto ingin menunjukkan bahwa “pertentangan” adalah energi. Seperti yang ada secara alamiah di dalam semua makhluk, “pertentangan” yang terdiri dari hal-hal yang saling berlawanan dan hal-hal yang saling berlawanan tersebut memiliki kesatuan. “Perang (polemos) adalah bapak segala-galanya”, demikian pernyataan Herakleitos mengenai “pertentangan”. Kesehatan diakui karena ada penyakit, yang baik ada karena ada yang buruk. Semuanya merupakan sintesis yang saling beroposisi. Maka menjadi sangat dipahami jika semasa sakitnya, Mas Tanto selalu “menyangkal”. Hanya sekali Mas Tanto mengakui kekeliruannya tentang hal ini, “ Saya keliru Mas, rumongso kuwat lali ngombe banyu putih”, katanya ketika kami bicara pada bulan November lalu.

Bagi saya dialektika pertentangan dalam diri Mas Tanto selalu ada bahkan ketika seorang sahabat dari Getas Sleman berceritera, Mas Tanto di hari terakhirnya “nganeh-anehi”. Dari Bantul makan serasa tidak ada pantangan, semua dinikmatinya, jam 12 malam datang singgah kemari, katanya. Dalam obrolan tengah malam itu Mas Tanto bicara sambil sesekali tertidur, kadang disertai nafas tersengal. Mas Tanto diminta untuk istirahat, rebahan, beberapa saat, jika perlu tidur di Getas. Namun itu semua toh dibantahnya, “Aku ki sehat dik, aku ki ora opo opo”, kata Mas Tanto. Akhirnya selama tertidur, Mas Tanto dibawakan oksigen dari Semaki Jogja. Begitupun, Mas Tanto seperti tidak merasa butuh. Setelah dihirup beberapa saat dan “mengaku” lebih baik pada pukul 01.30 Mas Tanto ingin pulang ke Keceme. Tentu dengan kekhawatiran sahabat saya, Mas Tanto diijinkan, namun jika setengah jam kemudian tidak ada kabar, maka sahabat saya sudah ada di Keceme. “Ancaman” ini efektif. Jam 03.30 Mas Tanto memberikan kabar bahwa dia dengan tabung oksigennya sudah di rumah Keceme.

Betapa konsisten Mas Tanto memegang keyakinannya. Sahabat saya sampai “judeg” pernah mengatakan, “Gusti Allah saja kalau kasih nasehat ke Mas Tanto belum tentu akan dituruti”. Keyakinannya ditampilkan sebagai bentuk atas kehati hatiannya yang konsisten itu atas pilihan etisnya. Kalau perlu Tuhan itu dikritik, Tuhan perlu digugat, dengan demikian kita tahu keseluruhan maksud Tuhan yang sejati. Dengan demikian dunia terhadap teleos–nya dari kehidupan ini akan berevolusi, bergerak dan bergerak.

Berlutut di Hadapan "Yang Tunggal"

Mas Tanto selalu menangis ketika kami berdialog dan sampai pada refleksi teologis. Kata-katanya bergetar, dan rokoknya terhenti. Tuhan itu keseluruhan jagad yang hadir tidak hanya dalam diri manusia, tapi pada batang padi, pada cempe, pada gurem, pada apapun yang menjadi organ kehidupan beserta titah yang menyertainya. Seperti yang dijelaskan Masanobu Fokuoka tentang jerami dalam bukunya The One Straw Revolution (Revolusi Sebatang Jerami). Seperti pohon gayam yang jemari akarnya saling mengikatkan diri untuk menjaga aliran air disungai Keceme. Air menjadi yang utama. Air menjadi keseluruhan nafas kehidupan. Seperti sumur yang berada persis di depan kedua pintu rumahnya. Tanpa sumur itu tidak akan ada kehidupan dengan akal sing wening.


Tangisan itu bagian parsial dari keseluruhan universalitas nafas Tuhan dalam keseluruhan kehidupan. Tangisan adalah kerendahan sikap terhadap yang tunggal, yang utama. Dan itu ditunjukkan dalam pahatan di nisan ibundanya, yang dilakukan sendiri yang berbunyi, “Ngabekti Konjok ing Gusti Mangku Urip Sejati” (Berbakti kepada Tuhan Memangku Hidup Sejati). Sekali lagi hal itu konsisten dengan pilihan lagu yang selalu disenandungkannya dengan berkaca-kaca, dan menjadi lagu pembukaan dalam Misa Requiemnya:





Amba Pratiknya



Amba pratiknya mring Gusti,

Sakit dumugeng tiwas,
Badhe tansah setya ngabdi,
Mring Pangeran murbeg rat.
Setya Pasamuwan Suci,
Amba temtu unggul jurit,
Mengsah lan bala setan.




Atas semuanya, diakhir tulisan saya yang belum juga selesai, saya hanya bisa
mengucap “Sembah nuwun konjuk ing Gusti”, Engkau telah “berikan” Mas Tanto dalam kehidupan saya.***



Jakarta, 17 Januari 2011


Di hari ke-3 peringatan “kepulangan” Mas Tanto,


Koko

6 comments:

GNU.g/NUG said...

makasih mas atas sharenya..

KoKo said...

Sama sama mas...

mochamad walid said...

Selamat jalan mas Tanto... disana akan engkau temukan apa yang engkau inginkan. Tuhan ada dimana-mana, termusak di sebuah "rumah" yang belum pernah engkau khayalkan sebelumnya..semoga terang jalanmu..

damai sejati said...

selamat jalan Mas Tanto, namamu slalu dalam doaku, nasehat-nasehatmu akan ku pahat dan ku ukir dalam hatiku. . .

Thomas Prasasti said...

Salam kenal Mas Koko ...
Terimakasih atas tulisannya ... kepergiannya semoga justru menjadikan Jalan Sunyi yang ditapakinya semakin ramai ..

KoKo said...

Salam kenal mas. Terfikir untuk mengumpulkan kembali ide ide dan karya mas Tanto yang tersebar kemana mana.